Oleh Armin Nasution
MEDAN, kaldera.id – PEPATAH kuno mengatakan kalau kail panjang sejengkal jangan lautan hendak diduga. Maknanya kalau kita hanya faham sedikit jangan merasa lebih pintar. Ketika kita ingin menguraikan sesuatu fahami dasarnya, kuasai ilmunya agar kita tidak malu.
Kiasan lain menyebut di atas langit masih ada langit. Artinya sehebat apapun kita masih ada di atas itu. Jadi jangan menganggap sepele, sombong atau merendahkan orang lain.
Nah tadi malam (Selasa 4 November 2024), saya mengikuti debat kandidat calon bupati Tapanuli Selatan menampilkan dua kandidat via yotube. Gus Irawan Pasaribu dengan Jafar Syahbuddin Ritonga sebagai pasangan nomor urut 1 berhadapan dengan Dolly Putra Parlindungan Pasaribu berpasangan dengan Parulian Nasution nomor urut 2.
Seperti yang sering diungkap dalam berbagai tulisan, saya sudah bersama Gus Irawan Pasaribu ini sejak dia menjadi direktur utama Bank Sumut. Bank yang sempat collaps karena diambilalih oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), kemudian menjadi BPD terbaik se-Indonesia.
Dan selalunya di berbagai kesempatan, diskusi, atau membahas apapun saya lebih sering menjadi counterpart-nya (lawan debat) dan kawan diskusi. Jarang saya memujinya saat ngobrol karena sudah terlalu banyak orang yang melakukan itu. Apalagi semakin kita mengajaknya diskusi makin banyak kita dapat ilmu.
Begitu juga sepanjang jadi anggota DPR RI, karena dia berada di Komisi XI dan Komisi VII yang memang fokus pada ekonomi, keuangan serta BUMN, banyak hal dan kebijakan kami diskusikan. Sepanjang di DPR RI pula kematangannya membawa suara rakyat Sumut terutama dari Dapilnya. Sepuluh tahun di dewan membuat kapasitas pemikirannya tentang isu nasional dan daerah dikuasai secara penuh.
Itu pula yang terjadi saat debat Pilkada Tapsel. Ketika moderator memberikan pertanyaan soal ketertinggalan infrastruktur telekomunikasi dan transformasi digital agar berjalan efektif dan inklusif sebagai pendorong layanan publik Gus Irawan Pasaribu menyatakan harusnya microwave link bisa menjangkau daerah-daerah tertinggal.
Usai Gus Irawan memberikan jawaban soal microwave, Dolly Pasaribu langsung menyanggah dan mengatakan: yang saya tahu microwave itu alat memasak Pak Gus. Kontan saja saat sesi debat pertama dimulai kelihatan kurang cerdas dan kurang fahamnya Dolly. Karena yang dia tahu microwave itu alat untuk memanaskan masakan. “Udak Gus, setahu saya microwave itu alat untuk masak. Apakah bisa microwave itu untuk teknologi seperti itu,” kata Dolly Pasaribu dengan nada menyudutkan jawaban Gus Irawan.
Kontan Gus Irawan Pasaribu pun menjelaskan tentang microwave link. Microwave transmission ini memang mampu mengirimkan dan membawa data ke server. Gus Irawan menyatakan teknologi seperti itu sudah pernah dijalankan di Bank Sumut untuk menjangkau nasabah di pelosok. Jadi memang jawaban ini menunjukkan Dolly Pasaribu kalah kelas karena yang dia tahu microwave itu cuma alat masak.
Begitupun Gus Irawan tidak menyudutkan jawaban Dolly Pasaribu. Dia hanya meminta agar anak muda lebih banyak belajar sehingga tidak ketinggalan. Sebab dunia berkembang pesat dengan berbagai jenis saluran informasi, aplikasi serta teknologi.
Sejujurnya saat saya mendengar debat di sesi satu ini saya sudah senyum-senyum. Kapasitas intelektual, penguasaan bahan, tata cara menjawab yang tidak mengedepankan sentimen serta bahasa tubuh yang santun menunjukkan kapasitas Gus Irawan Pasaribu. Di tulisan ini saya memang hanya sekedar membahas istilah microwave link itu.
Karena secara umum debat Pilkada Tapsel putaran pertama ini tidak menguntungkan petahana. Bagaimana tidak, pertanyaan dari panelis yang dibacakan moderator pun sudah menunjukkan bagaimana Tapsel dikelola. Contohnya apa?
Pertama moderator menanyakan indeks pelayanan publik. Begini pertanyaan moderator, indeks pelayanan publik di Tapsel masih kategori B dengan skor 3,52 di tahun 2023 dengan kinerja terendah dari tiga sampel adalah pelayanan rumah sakit dengan skor 3,13.
Begitu juga dengan sub tema pendidikan, moderator bertanya begini: berdasarkan data BPS 2023 rata-rata lama sekolah di Tapsel itu 9,5 tahun bahkan kalah dibanding rata-rata lama sekolah provinsi yang 9,8 padahal ini merupakan salah satu program nasional untuk meningkatkan wajib belajar 12 tahun.
Dengan semua data dan pertanyaan dari moderator itu saya kira sudah menyimpulkan kinerja Pemkab Tapsel. Belum lagi soal LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) sebagai instrumen yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja organisasi dan pelaksanaan tugas pejabat publik.
LAKIP Tapsel ini dari debat Pilkada kemarin terungkap masih di peringkat CC tidak beranjak dari sebelumnya. Padahal ini indikator kinerja resmi pemerintah. Jadi sebanyak apapun penghargaan selama ini, faktanya dibantah oleh pertanyaan yang disiapkan panelis dan dibacakan moderator.
Saya mau meminjam istilah Gus Irawan Pasaribu di debat itu ketika membahas dana desa. Gus Irawan yang sudah berdiskusi dengan semua kepala desa menyatakan dana desa yang digunakan habis untuk bimtek. Saat ditanya berapa lagi dana desa untuk fisik dijawab para kepala desa: toss do bapak (bahasa Tapsel yang artinya: habis semuanya pak).
Maka dari acara itu saya bisa sampaikan toss do lawan debat ibaen Gus Irawan (artinya: habis dibuat Gus Irawan lawan debatnya). Padahal belum lagi Gus Irawan bicara capaian kinerjanya selama 10 tahun di DPR RI.