Mendikbud, Nadiem Makarim (kaldera/rtr)
Mendikbud, Nadiem Makarim (kaldera/rtr)

MEDAN, kaldera.id – Penghapusan Ujian Nasional (UN) yang diwacanakan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim di tahun 2021 menuai pro kontra masyarakat.

Wacana penghapusan UN sudah mulai dari menteri-menteri pendidikan sebelumnya dan kembali dilanjutkan oleh Nadiem Makarim. Penghapusan UN akan diganti dengan asesmen kompetensi yang berfokus kepada pengujian kompetensi siswa.

“Saya setuju kalau UN dihapuskan. Karena pengalaman saya pas SMP dulu harus belajar ekstra sebelum UN nasional karena soal-soal yang di UN-kan masih banyak yang belum saya pelajari. Jadinya harus ikut les ini itu untuk membantu menjawab soal -soal UN. Ada ketakutan yang luar biasa kalau tak lulus,” kata Putri Adelia siswi Madrasah Aliyah Laboratorium UINSU, Sabtu (14/12/2019).

Sementara, siswa tersebut hampir sama dengan pendapat orang tua. Ana Susanti, salah satu orang tua siswa yang dihubungi menytakan setuju atas penghapusan UN. “Kenapa setuju? Itu karena seperti negara yang pendidikanya sudah maju tidak ada UN. Bahkan sekolah mereka tanpa pekerjaan rumah (PR) dan jam sekolah lebih sedikit. Sehingga anak- anak bahagia masuk sekolah. Tidak malas-malasan. UN ini momok menakutkan bagi siswa,” katanya.

Lain halnya Muhammad Jamil, yang juga orang tua siswa. Dia tidak setuju wacana Kemendikbud menghapus UN. Menurutnya penghapusan UN membuat kecacatan dalam sistem sekolah . “Saya tidak sepakat UN di hapus karena UN bukan hal menakutkan. Dengan UN kita bisa melihat kemampuan sekolah terhadap siswa didiknya sejauh mana kemampuan guru menyajikan materi dan kemampuan anak menerima materi.”

“Dalam pelaksanaan UN kita melihat kemampuan anak menyerap bidang studi yang akan diujikan . Kalau tidak ada UN akan semau sekolah memberi nilai kepada siswanya,” ujar lelaki berusia 47 tahun itu.

Akademisi Univesitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Dr. Siti Halimah, M.Pd di kantornya mengatakan jika anak didik dinilai berbasis kompetensi makanya sebaiknya tidak ada UN. “Sehingga terukur mana siswa yang berkompeten mana yang kurang,” katanya. Menurutnya asesmen kompetensi lebih baik dari pada UN yang menyamaratakan kompetensi mahasiswa. “UN ini juga membuat siswa lebih stres karena kelulusan siswa hanya diukur dari hasil UN,” katanya.

Dia juga menambahkan setiap sistem yang dikeluarkan harus dibarengi standar namun tetap memberikan sistem yang sesuai setiap daerah bukan standar nasional. “Kalau pun asesmen kompetensi diresmikan di tiap sekolah, yang harus diperhatikan adalah standarnya sendiri. Standar ini perlu sebagai acuan sekolah menerapkan asesmen kompetensi . Tapi kembali lagi harus diperhatikan standarnya. Sesuaikan dengan daerahnya sebab jika standarnya masih bersifat nasional sama saja dengan UN,” katanya.

Menurut dia, penghapusan UN juga akan berakibat pada berubahnya sistem yang diterapkan perguruan tinggi dalam menjaring mahasiswa yang memasuki perkuliahan. “Untuk seleksi masuk universitas bisa jadi berubah jika asesmen kompetensi ini diterapkan. Bisa jadi nanti lebih ke kompetensi yang dimiliki calon mahasiswa yang diuji,” terangnya.(finta rahyuni)