Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Wahyu Pratomo
Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Wahyu Pratomo

MEDAN, Kaldera.id – Pengamat Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Wahyu Pratomo menilai keputusan Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang akan memberikan dampak yang tak menguntungkan bagi Indonesia.

Termasuk, menjadikan neraca dagang Indonesia-AS yang biasanya surplus menjadi defisit.

” Entah kriteria apa yang dibuat AS yang menunjukkan Indonesia sebagai negara maju, karena yang diekspor Indonesia ke luar negeri masih dominan berbentuk komoditi dan tambang,” ujarnya kepada Kaldera.id, Kamis (27/02/2020).

Penetapan sebagai negara maju membuat Indonesia seperti masuk dalam jebakan karena harus lebih siap untuk bersaing. Secara positif kondisi ini harus menjadi dasar bagi Indonesia untuk semakin berubah agar dapat bersaing.

Di samping itu, tambah Wahyu, Indonesia juga harus aktif dalam mencari pasar baru (non-tradisional).

“Perwakilan Indonesia di luar negeri seperti kedutaan dan konsulat jenderal, harus lebih optimal dalam mencari potensi pasar ekspor dari Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, jelas Wahyu, jika Indonesia telah menjadi negara maju, Indonesia harus membayar bea masuk dengan tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN). Kondisi ini tentunya dapat membuat produk Indonesia kehilangan daya saingnya di pasar AS.

“Dengan dikenakannya bea masuk, maka barang Indonesia jelas menjadi lebih mahal jika dijual di pasar AS. Dampaknya menjadi kurang berdaya saing dengan produk sejenis yang diekspor dari negara-negara berkembang,” tegas Wahyu.

Keputusan AS tersebut juga berpengaruh besar terhadap fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang selama ini telah dinikmati Indonesia sebagai salah satu negara berpendapatan menengah.

Adapun, GSP adalah pemotongan bea masuk barang impor yang datang dari negara berkembang ke Amerika Serikat. (finta rahyuni)