Prof. Dr. Hasan Sazali, M.Ag
Prof. Dr. Hasan Sazali, M.Ag

MEDAN, kaldera.id – Prof. Dr. Hasan Sazali, M.Ag, putra asal daerah pesisir Tanjung Tiram, Batu Bara, menambah barisan Guru Besar Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Suami dari Dr. Desvi Yanti Mukhtar, M.Psi, Psikolog ini, menjadi Guru Besar di usia 47 tahun.

Berdasarkan SK PAK Kemendikbud Ristek No 2099/E4/KP/GB/2023, terhitung mulai tanggal 1 Agustus 2023, Hasan Sazali resmi ditetapkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Komunikasi. Hal ini menjadikan Hasan–begitu sapaan akrabnya- sebagai Guru Besar (Profesor) kedua di bidang Ilmu Komunikasi yang dimiliki UINSU Medan, setelah sebelumnya Prof. Dr. Syukur Kholil, MA.

Saat ini Hasan merupakan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSU Medan. Pria kelahiran 22 Februari 1976 menamatkan studinya di Pesantren Ulumul Quran, Stabat, ini menempuh pendidikan tinggi di UIN Ar Raniry Banda Aceh, Magister Komunikasi Islam UINSU Medan, dan Doktoral pada Komunikasi Pembangunan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 2016.

“Alhamdulillah, perolehan Guru Besar ini merupakan karunia Allah SWT untuk keluarga saya, dan keluarga besar UINSU. Terimakasih pada kedua orang tua saya Alm Saudin dan Almh Nuraisah, ayah dan ibu mertua, isteri serta anak kami. Terimakasih juga pada para pimpinan UINSU, Ibu Rektor Prof Dr Nurhayati dan para guru-guru saya di semua tempat saya belajar,” katanya.

Hasan Sazali dikenal sebagai dosen yang menggeluti riset-riset yang berkaitan tapi tidak terbatas dalam Komunikasi Pembangunan Agama, Komunikasi Publik, dan Komunikasi Digital. Dalam artikel terindeks Scopus berjudul “Strengthening Communication: A Strategy to Increase Community Satisfaction in Stunting Services in Indonesia” (2023), Hasan mengatakan pemerintah Indonesia telah memprioritaskan program penanganan stunting, namun hingga tahun 2022 prevalensi stunting masih tinggi.

“Karena itu dibutuhkan penguatan komunikasi antar lembaga daerah di tingkat kabupaten secara sinergis mendukung penyediaan fasilitas yang diperlukan sehingga meningkatkan kepuasan masyarakat. Penguatan komunikasi lintas sektoral secara sinergis dalam pengelolaan sanitasi lingkungan mendukung program layanan stunting,” ungkap anak ke 8 dari 10 bersaudara ini.

Komunikasi: Stunting, Radikalisme, Perilaku Inses

Kemudian pada artikelnya berjudul “Strengthening The State Institutional Communication Development System For Radicalism Management In Indonesia” (2022), Hasan menganalisis kebangkitan radikalisme di Indonesia yang berada pada tahap mengkhawatirkan. Hal ini perlu diwaspadai oleh berbagai pihak, terutama pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

“Perlu penguatan sistem komunikasi untuk mengembangkan institusi negara guna mengatasi radikalisme,” katanya.

Dalam menanggulangi radikalisme di Indonesia, lembaga negara sudah bersinergi namun belum maksimal. Sebab, masih terdapat perbedaan persepsi antar lembaga yang menilai radikalisme. Oleh karena itu, perlu adanya terminologi khusus seperti rencana strategis yang dibuat untuk menyamakan persepsi agar seluruh lembaga negara dapat bekerja maksimal dalam menanggulangi radikalisme.

“Dengan disusunnya Renstra tersebut, otomatis lembaga-lembaga negara akan bersinergi dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga penanganan radikalisme dapat cepat dicegah,” tulis ayah satu anak ini.

Sebagai putra daerah Tanjung Tiram, Hasan juga pernah melakukan riset di kampung halamannya yang didasarkan pada keprihatinan terhadap perilaku inses. Dalam jurnal penelitian yang berjudul “Komunikasi Kebijakan Publik Dalam Penanggulangan Inses Di Kecamatan Tanjung Tiram” (2022), Hasan perilaku inses yang didapati di berbagai wilayah, karena masyarakat beranggapan persoalan inses merupakan urusan keluarga dan tidak perlu diketahui oleh pihak lain.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa permasalahan terjadinya inses adalah kurangnya peran pemerintah dalam komunikasi kebijakan publik dan dalam memberikan perlindungan secara hukum. Selain itu, dalam komunikasi kebijakan publik untuk menanggulangi terjadinya inses diperlukan pertukaran informasi dan menjalin hubungan komunikasi dua arah antara masyarakat dan pemerintah.

“Dalam implementasi kebijakan publik yang dilakukan pemerintah belum dapat menyentuh korban-korban inses untuk melaporkan kejadian yang dialami,” ungkapnya.(efri surbakti/red)