Penutupan TikTok Shop, Dilema?

Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – TOPIK ini harusnya disajikan beberapa minggu lalu. Cuma karena sibuk membuat tulisan terkait pelayanan publik kota Medan dengan berbagai problemnya, akhirnya pemuatan tulisan ini tertunda. Bayangkan saja, sejak Walikota Medan giat-giatnya menggali drainase, merevitalisasi jembatan hingga menutup jalan, ada tiga kali kolom ini saya isi dengan tulisan terkait hal tersebut.

Inti tulisan sebenarnya masukan agar tata kelola dan pengerjaannya lebih tertib. Karena pemimpin yang berwibawa itu adalah pemimpin yang tertib dan disiplin. Kalau itu tak dilakukan walikota kita, maka kita sendirilah yang akhirnya menilai. Jadi kita lanjutkan saja dengan konteks bagaimana kemudian TikTok Shop yang ‘disuntik mati’ pemerintah melalui revisi peraturan Menteri Perdagangan No. 50 tahun 2020 yang isinya melarang platform media sosial untuk berjualan.

Larangan tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Aturan itu merupakan revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.

Dasarnya memang karena berbagai pemberitaan mengeluhkan sepinya para pedagang tradisional di Tanah Abang, Jakarta, sebagai salah satu pusat perkulakan terbesar. Mereka kehilangan omset, sementara di TikTok Shop 24 jam pedagangnya bisa jualan.

Konsumen bisa pindah-pindah tempat dengan melihat etalase-etalase pedagang. Kemudian dari sisi harga pun jauh dibawah normal dibandingkan misalnya bertransaksi dengan pedagang tradisional.

“Kami sangat menyayangkan terkait pengumuman hari ini, terutama bagaimana keputusan tersebut akan berdampak pada penghidupan 6 juta penjual dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop,” kata Perwakilan TikTok Indonesia.

Alasan kuat penutupan itu karena pemerintah merasa perlu menyelamatkan pedagang tradisional dan memang menghindari platform media social sebagai tempat berjualan. Karena untuk outlet jualan online resmi sudah ada e-commerce dengan berbagai aplikasi seperti tokopedia, shopee, bukalapak dan lain-lain.

Dilema apakah dengan tutupnya TikTok Shop menjadi jaminan akan menyelamatkan pedagang tradisonal? Jawabannya tidak. Begini, dunia berubah dalam tempo cepat. Efek pandemi covid-19 telah mengajarkan tentang banyak hal.

Kita dulu tidak pernah kefikiran bahwa untuk menyelenggarakan seminar berkapasitas 1.500 orang secara online. Dulu seminar, event besar dilakukan di hotel, convention dan gedung-gedung dengan biaya mahal.

Pandemi datang. Semua bisnis itu tersapu. Covid-19 mengajarkan banyak hal tentang ketidakpastian yang datang lalu menyapu banyak bisnis. Sektor perdagangan pun terlibat. BI sebagai otoritas moneter misalnya menerapkan transaksi cashless (tanpa uang cash) lewat QRIS.

Aplikasi ini makin diperkuat ketika pandemi datang. Kemudian sekarang sudah bisa ditransaksikan di negara tetangga.

Transaksi barang pun berpindah dari pertemuan pedagang dan pembeli dengan pertemuan virtual. Di marketplace atau di platform media sosial.

Semua proses jual beli dengan cara singkat dilakukan hanya dengan membuka aplikasi. Bukan hanya barang sandang, tapi juga pangan. Maka bisnis kuliner termasuk salah satu yang mendapat berkah luar biasa dari pandemi, karena layanan pesan antar sudah menjadi layanan prioritas.

Seharusnya yang dilakukan pemerintah bukan serta merta menutup TikTok Shop tapi mendorong literasi digital pada pedagang tradisional. Artinya para pedagang di pusat perkulakan besar pun didorong dan diajari membuat aplikasi yang memungkinkan menjual barangnya secara online. Sehingga saat mereka buka toko di Pasar Tanah Abang pun misalnya, bisa dipadukan dengan dagangan online atau live.

Pola fikir mengikuti trend dan perkembangan teknologi sesuatu yang tidak bisa diabaikan pedagang. Kita harus beradaptasi dan mengadopsi semua perkembangan agar bisnis berjalan maksimal.

Pelarangan TikTok Shop sebenarnya tidak harus dimatikan tapi membenahi regulasi dan menguatkan pedagang lokal. Konon memang, banyak barang impor yang akhirnya bebas masuk dan diperdagangkan di platform medsos tersebut sehingga harganya lebih murah.

Berpadunya media social sekaligus e-commerce kelak hanya perlu aturan tegas. Karena harus kita akui, media sosial punya peran besar dari sisi promosi dan transaksi.

Tentu ini perlu aturan dan pengawasan agar tak merugikan negara dan pedagang lokal. Jadi setelah TikTok Shop tutup, kita kembali ke fungsi awal sajalah dulu. Menggulirkan feed sembari joget-joget dan melihat gimmick artis yang cari sensasi.