Firsal Mutyara: Buruh Harus Punya Rumah Dan Anaknya Bisa Sekolah

Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara
Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara

 

MEDAN, kaldera.id –  Ketua Kadin Sumut Firsal Ferial Mutyara berharap peran strategis pemerintah dan lembaga yang selama ini mengelola dana buruh mau membantu para pekerja agar kelak bisa punya rumah dan anaknya terus bersekolah.

Hal itu disampaikannya saat berbincang dengan media terkait keputusan penetapan upah minimum provinsi (UMP) serta dampak ikutannya terhadap dunia usaha dan buruh. Sebelumnya pun para buruh sempat melewati Kantor Kadin Sumut untuk menyampaikan aspirasi mereka.

Firsal Ferial Mutyara mengatakan pertimbangan kenaikan upah yang sudah ditetapkan tentu dengan melihat kondisi pengusaha dan kebutuhan buruh terutama dari sisi harga bahan pokok.

Kemudian penetapan UMP tentu bukan untuk hidup mereka sendiri karena buruh punya istri dan anak yang harus ditanggung biaya sekolah, biaya transportasi, juga biaya kesehatan, kata Firsal Ferial Mutyara yang akrab disapa Dida.

“Pengusaha tentu harus memperhatikan buruh karena keduanya punya hubungan yang kuat. Pengusaha jangan dibenturkan dengan buruh karena jika itu terjadi membuat iklim investasi tak akan kondusif,” jelasnya.

Menurut dia, komponen upah buruh yang sekarang ada akan mereka gunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.

“Terutama kebutuhan pokok. Setelah kebutuhan pokok terpenuhi baru kemudian biaya kesehatan, pendidikan serta transportasi. Jika buruh tak bisa menanggung itu semua maka dibutuhkan subsidi dari lembaga pengelola dana buruh dan pemerintah. BPJS misalnya dan perusahaan asuransi lain.”

Bahkan khusus soal kesehatan setidaknya ada perlindungan preventif kepada mereka enam bulan sekali misalnya agar jangan sampai jatuh sakit, kata Firsal Dida Mutyara. Atau juga membuat supporting dari perusahaan yang mengelola dana buruh dengan memberi subsidi harga pangan.

“Kalau kita menjabarkannya seperti plaza buruh. Isinya berupa bahan pangan . Mereka sempat bertanya ke kita, bisa tidak Kadin memfasilitasi agar dibuat di satu tempat. Isinya tentu bahan pangan yang bersubsidi di kawasan industri. Ada beras, gula dan kebutuhan lain yang tiap bulan bisa mereka dapatkan. Itu bukan tidak mungkin. Pasti bisa dilakukan dengan syarat ada kerjasama dengan pihak-pihak lain,” kata Firsal Ferial Mutyara.

Menurutnya, cara seperti itu lebih efektif daripada subsidi berbentuk uang karena bisa langsung habis.

“Setelah memberikan bahan pokok subsidi, baru ke pendidikan. Kita tahu sekarang pendidikan jadi barang mewah. Kasihan anak-anak buruh karena mereka yang diharapkan mengisi generasi Indonesia emas 2045 atau sekira 20 tahun lagi. “

Dari sekarang, kata Firsal, sudah harus difikirkan. “Jangan sampai anak-anak kawan kita buruh ini tidak sekolah. Jangan sampai Indonesia emas 2045 yang kita cita-citakan ternyata hanya melahirkan kelas pekerja karena anak-anak buruh yang sekarang tidak bersekolah atau mengecap pendidikan yang baik. Kita jangan jadi negara buruh yang menghasilkan kelas pekerja,” tegasnya.

Setelah memenuhi pendidikan baru kemudian kebutuhan transport seperti kendaraan, kata dia.

“Buruh juga harus punya rumah. Ini sebenarnya membutuhkan peran kuat dari pemerintah. Negara ini jangan seperti pemerintahan kapitalis yang rakyatnya dijadikan budak untuk dieksploitasi namun tidak pernah memiliki. Kapitalis kan begitu. Kita hanya dikasi sewa saja. Di Amerika kan begitu ya. Harga rumah naik terus. Ketika harga rumah naik orang disuruh kerja hanya untuk menyewa, tapi tidak bisa membeli. Amerika itu kapitalis. Jangan seperti ini kita,” katanya.

Firsal Ferial Mutyara menambahkan buruh di Indonesia termasuk Sumut harus punya rumah walaupun jauh dari tempat bekerja.

“Negara musti hadir menyelesaikan persoalan ini. Kita lihat harga rumah naik terus karena pengusaha juga ingin mendapatkan untung. Di Deliserdang saja harga rumah sudah Rp200 juta-an,” jelasnya.

“Akhirnya buruh hanya bisa menyewa. Mereka dapat gaji Rp3,2 juta. Kemudian untuk sewa rumah Rp1 juta. Sedangkan Rp500 ribu untuk transportasi atau cicilan sepedamotor. Sisanyalah yang Rp1,7 juta untuk biaya hidup. Ini bahaya sebenarnya. Jadi harus difikirkan buruh punya rumah agar biaya sewa tak menggerogoti penghasilan mereka,” tuturnya.

Pemerintah tentu perlu berperan denganmemberi subsidi, kalau tidak akan mengimbas secara negatif ke dunia usaha.

“Dengan pengeluaran sebanyak itu, akan ada dua efet. Satu positif dan kedua negatif. Kalau si buruh berfikir positif mungkin istrinya akan ikut menambah income keluarga. Tapi kalau tidak maka berefek negatif. Si pekerja bisa jadi maling kalau penghasilan tak cukup. Maling di perusahaannya, ngakalin perusahaan. Tidak hanya uang. Tapi misalnya waktu. Setelah absen langsung keluar dan cari sampingan di luar,” ungkapnya.

Menurut dia, terutama pemerintah harus memikirkan ini. “Harus ada political will, dorongan bahkan paksaan agar ini terwujud. Di Jakarta bisa kok bangun rusun. Tiba-tiba di kereta api sudah ada rusun. Kalau kita ikut cara kapitalis tak mungkin rakyat bisa hidup.”

“Sekarang berapa banyak gelandangan di Amerika dan Australia karena harga rumah naik terus dan mereka tidak bisa beli. Inflasinya rendah tapi harga rumah naik terus. Biaya sewa inilah yang dimakan rente,” kata Firsal menutup percakapan.