Tim Palang Merah Indonesia (PMI) di Kairo, Mesir, sedang mempersiapkan pengadaan bahan makanan, selimut, obat-obatan, dan peralatan kesehatan untuk dikirim ke masyarakat Gaza, Palestina.

 

MEDAN, kaldera.id – Tim Palang Merah Indonesia (PMI) di Kairo, Mesir, sedang mempersiapkan pengadaan bahan makanan, selimut, obat-obatan, dan peralatan kesehatan untuk dikirim ke masyarakat Gaza, Palestina. Bantuan ini merupakan bantuan tahap kedua yang akan diberikan PMI.

Upaya bantuan tahap kedua PMI ini merespons kondisi di Gaza yang semakin dilanda krisis pangan dan obat-obatan. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, sekitar 576.600 warga Palestina di Gaza kelaparan.

Ketua Tim Misi PMI di Gaza, Arifin M. Hadi, menerangkan bantuan tahap kedua sebagai hasil pertemuan antara PMI dan otoritas Bulan Sabit Merah Mesir, Bulan Sabit Palestina, Kementerian Kesehatan dan Kependudukan Mesir, dan pihak RS Palestina di Mesir pada Minggu (24/12/2023) di Markas Bulan Sabit Merah Mesir di Kairo.

“Merujuk pada hasil asesmen dan data-data yang diberikan oleh mitra PMI di Mesir seperti Bulan Sabit Merah Mesir, Bulan Sabit Merah Palestina, Kementerian Kesehatan dan Kependudukan Mesir serta RS Palestina di Mesir, kebutuhan pangan, pakaian (selimut), obat obatan serta peralatan kesehatan menjadi kebutuhan prioritas,” terang Arifin Rabu (27/12/2023).

“Oleh karena itu, PMI akan menfokuskan bantuannya pada kebutuhan dasar makanan dan kesehatan ini.”

Penuhi Kebutuhan Dasar Masyarakat Gaza

Sekretaris Jenderal PMI AM. Fachir menambahkan, bantuan pengadaan kesehatan yang akan PMI salurkan bertujuan membantu upaya pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat terdampak konflik Gaza Palestina.

“Bantuan PMI pada tahap kedua ini melanjutkan bantuan tahap pertama, yang sebelumnya telah dilakukan penyaluran bantuan logistik berupa family kit, hygiene kit, baby kits, masker dan peralatan kesehatan melalui pemerintah yang dikoordinasikan oleh Kementerian Luar Negeri,” tambah AM. Fachrir di Jakarta.

Kondisi konflik yang terus berlanjut di Gaza menyebabkan beberapa rumah sakit kekurangan pasokan medis, obat-obatan, dan kekurangan makanan dan air minum yang signifikan bagi warga pengungsi, staf medis, pasien, dan korban luka.

Selain itu, lebih dari 14.000 pengungsi telah tinggal di lingkungan rumah sakit selama lebih dari tiga minggu. Terdapat peningkatan yang signifikan dalam jumlah orang hilang dan hilang karena kesulitan dalam menyelamatkan korban dari bawah reruntuhan.

Semua Orang di Gaza Kelaparan

Laporan yang dirilis pada Kamis (21/12/2023) oleh PBB dan sejumlah lembaga nonpemerintah mengungkapkan bahwa seluruh penduduk di Jalur Gaza berada dalam krisis pangan, dengan 576.600 orang berada pada tingkat bencana atau kelaparan akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023.

“Ini adalah situasi di mana hampir semua orang di Gaza kelaparan,” tutur kepala ekonom Program Pangan Dunia (WFP) Arif Husain, seperti dilansir AP, Jumat (22/12/2023).

“Orang-orang sangat, sangat dekat dengan wabah penyakit dalam jumlah besar karena sistem kekebalan tubuh mereka menjadi sangat lemah lantaran tidak mendapatkan cukup makanan.”

Menurut angka-angka dalam laporan tersebut, tingkat kelaparan penduduk Jalur Gaza, bahkan melampaui yang terjadi di Afghanistan dan Yaman dalam beberapa tahun terakhir.

Laporan itu memperingatkan bahwa risiko kelaparan meningkat setiap hari yang dipicu oleh kurangnya bantuan yang masuk.

“Saya belum pernah melihat hal sebesar ini terjadi di Gaza dan secepat ini,” ungkap Husain.

Makanan Menjadi Langka dan Mahal

Dilansir dari The Guardian, Minggu (24/12/2023), risiko kelaparan meningkat setiap harinya, menurut Integrated Food Security Phase Classification (IPC) menyatakan pada pekan ini, bahwa seluruh penduduk Gaza menderita “tingkat bencana kerawanan pangan akut”.

Saat ini proporsi tertinggi dari populasi mengalami kerawanan pangan akut dari yang pernah direkam oleh monitor.

Pada Jumat, 22 Desember 2023, Dewan Keamanan PBB mendukung resolusi yang menyerukan peningkatan besar bantuan kemanusiaan untuk Gaza.

Namun, Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengatakan kepada wartawan bahwa, “Masalah sebenarnya adalah cara Israel melakukan serangan ini menciptakan hambatan besar terhadap distribusi bantuan kemanusiaan di Gaza.”

The World Food Programme (WFP) atau Program Pangan Dunia juga mengatakan semakin sulit menjangkau masyarakat karena semakin intensifnya pertempuran, makanan menjadi langka dan mahal, dan bahan bakar untuk memasak sulit didapat.

Laporan terbaru mengenai ketahanan pangan WFP menyebutkan bahwa situasi terburuk terjadi di bagian utara Gaza, di mana 90 persen penduduknya tidak makan seharian penuh.

Banyak warga Gaza menggunakan media sosial untuk melampiaskan rasa frustasi mereka atas kurangnya pasokan dan tingginya harga makanan. Menurut mereka keadaan jadi semakin parah sejak berakhirnya jeda sementara pertempuran pada November 2023.

“Setelah 70 hari perang di Gaza, akhirnya bantuan masuk ke Gaza, untuk delapan orang, hanya dua ini?,” kata seorang pria dalam video yang dibagikan oleh Al Jazeera sambil memegang sekaleng kacang-kacangan dan sebungkus kecil biskuit. (liputan6)