Umpan Paylater dan Bias Narasi Generasi Sandwich

redaksi
17 Jan 2025 20:35
4 menit membaca

Oleh: Fakhrur Rozi*

 

FENOMENA “Buy Now, Pay Later” (BNPL) atau lebih dikenal dengan istilah pay later, menjadi tren finansial yang semakin mendominasi di Indonesia. Metode ini menawarkan kemudahan berbelanja tanpa membayar langsung, sehingga menarik perhatian banyak pihak, termasuk Generasi Z. Kemudahan akses melalui aplikasi digital membuat pay later tampak seperti solusi yang ideal.

Dari perspektif Ilmu Komunikasi, fenomena ini boleh disebut keberhasilan strategi komunikasi pemasaran digital yang dirancang melahirkan hegemoni akan konsumerisme di kalangan masyarakat. Dengan memanfaatkan teknologi persuasif melalui media sosial, termasuk algoritma, kampanye iklan pay later sering kali menonjolkan kenyamanan dan fleksibilitas, tanpa memberikan informasi transparan mengenai risiko yang menyertainya.

Kasus ekstrem terjadi di China pada 2018, di mana pengguna pay later perempuan harus menyerahkan foto pribadi sebagai jaminan. Karena kesulitan bayar, foto-foto itu tersebar di internet. Meski di Indonesia belum ada laporan serupa, ancaman utama tetap sama: lingkaran utang yang sulit diputus. Kebiasaan berutang, yang dipermudah oleh teknologi, menjebak individu dalam pola konsumsi impulsif tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi kesehatan finansial. Bila terlilit utang, jadi masalah baru. Padahal, situasi itu akibat ulah sendiri. Ibarat pepatah, “Kaki tak pandai menari, jangan lantai kita salahkan.”

Sazali dan Rozi (2020) menyebutkan bahwa teknologi digital, termasuk e-commerce dan fintech, telah mengubah masyarakat menjadi lebih konsumtif. Pay later adalah perpanjangan dari budaya ini. Generasi muda yang terpapar gaya hidup konsumtif melalui media sosial semakin mudah tergoda membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, dengan alasan “kemudahan pembayaran.”

Penyebaran budaya konsumerisme ini didorong oleh fear of missing out (FOMO), di mana individu merasa tertekan dan terpaksa mengikuti tren agar tetap relevan dalam lingkungan sosial mereka. Media sosial dan iklan digital memperkuat dinamika ini dengan menciptakan norma sosial bahwa berutang adalah hal yang wajar. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa perilaku ini memiliki dampak negatif jangka panjang terhadap stabilitas finansial dan kesejahteraan psikologis.

Penelitian John Gathergood (2012) menunjukkan bahwa utang dapat menyebabkan tekanan psikologis serius, termasuk kecemasan, stres, dan depresi. Dalam konteks komunikasi interpersonal, beban utang juga sering kali memengaruhi kualitas hubungan sosial. Konflik akibat masalah keuangan, baik dalam keluarga maupun lingkaran pertemanan, sering kali menjadi sumber stres tambahan bagi individu. Dalam kasus pay later, banyak pengguna tidak menyadari bahwa bunga dan denda dapat dengan cepat membengkak, mengubah utang kecil menjadi masalah besar.

Mengaburkan Akar Masalah: Generasi Sandwich jadi Dalihnya

Berdasarkan hasil survei DataIndonesia.id, hampir separuh atau 46,3% Generasi Z di Indonesia menjadi generasi sandwich (2023). Generasi sandwich adalah istilah untuk orang yang harus membiayai diri sendiri, anak-anak, dan orang tua. Istilah ini menggambarkan kondisi terhimpitnya generasi sandwich di antara dua generasi yang membutuhkan perhatian dan tanggung jawab finansial.Belakangan, muncul narasi bahwa pay later membantu generasi sandwich menyelesaikan masalah finansial.

Menurut penulis, ini adalah manipulasi yang diperkuat oleh media. Dalam kajian komunikasi, ini dapat dianalisis melalui teori framing, di mana media membingkai pay later sebagai solusi inovatif tanpa mengungkapkan sisi negatifnya. Media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap produk keuangan ini.

Sebetulnya, akar permasalahan generasi ini terletak pada ketidakseimbangan ekonomi dan sosial. Beban mereka timbul dari kebutuhan mendukung dua generasi sekaligus, yang seharusnya menjadi tanggung jawab kolektif masyarakat dan negara melalui perlindungan sosial dan akses layanan dasar. Apalagi, data terbaru (kaldera.id: 2025) menyebutkan penggunaan pay later oleh Generasi Z cenderung untuk kebutuhan sekunder dan sekadar gaya hidup.

Jalan baru harus dibuat. Langkah yang lebih tepat adalah memperkuat literasi digital dan literasi keuangan. Selain itu, negara harus memainkan peran lebih aktif dalam mendukung generasi sandwich melalui kebijakan sosial yang melibatkan akses kesehatan, pendidikan, dan perlindungan lansia. Dengan demikian, tekanan finansial yang menjadi beban generasi ini dapat dikurangi tanpa harus bergantung pada utang.

Pay later bukanlah solusi bagi generasi sandwich, Narasi yang mengglorifikasi utang digital, hanya menutupi fakta bahwa ini adalah alat lain dari budaya konsumerisme yang merugikan. Dari perspektif ilmu komunikasi, penting untuk mengkritisi bagaimana media dan teknologi digunakan untuk membingkai solusi semu ini. Generasi sandwich layak mendapatkan dukungan yang lebih baik, bukan sekadar janji semu dari teknologi finansial.

Akhirnya, layak untuk mengulang kaji dengan merujuk pada firman Allah SWT, dalam Surah At Takatsur. “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. QS. 102:1”. Mari tepuk dada, tanya selera.(*)

 

*)Dosen UINSU Medan, Peminat Kajian Komunikasi Digital, Praktisi Media