Oleh: Fakhrur Rozi
BULAN suci Ramadan 1446 H akan segera hadir di awal Maret 2025. Dari media, baik itu media massa dan media sosial, masyarakat mulai merasakan tanda akan datangnya Ramadan lewat tayangan, siaran atau iklan-iklan produk yang akan hadir di selama bulan puasa. Iklan-iklan produk terkait bulan Ramadan pun bermunculan di layar kaca televisi maupun layar smartphone. Misalnya, iklan sirup atau iklan diskon Ramadan dari platform belanja online.
Dapat diprediksi yang tak kalah marak, adalah munculnya konten-konten Islami untuk mengambil tempat tersendiri di media sosial. Algoritma media sosial sudah bisa dipastikan, akan menggiring konten-konten Islami terkait Ramadan. Sebab algoritma media sosial selalu bekerja untuk selalu relevan dengan situasi kondisi penggunanya. Sangat mungkin dalam 60 hari ke depan, pengguna media sosial (baca: Instagram, Tiktok, Facebook dan Youtube), akan akrab dengan konten-konten Islami.
Dengan situasi itu, patut dicermati penyataan dalam artikel berjudul “Hijrah and Look for Millenial Muslim Identity in Medan” (Rozi, Kholil dan Sazali: 2021), yang menyebut pengguna media sosial mengakses informasi keislaman secara aktif berdasarkan adanya kebutuhan akan kemudahan dalam mempelajari agama. Tapi diakui, konsumsi informasi keagamaan tidak hanya atas dasar kebutuhan tetapi juga dorongan algoritma.
Laporan We Are Social 2024 mengungkap bahwa masyarakat Indonesia berusia 16-64 tahun menghabiskan rata-rata 7 jam 38 menit per hari di internet. Angka ini jauh melampaui rata-rata global yang hanya 6 jam 40 menit, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet terlama ke-12 di dunia. Jika dibandingkan dengan durasi puasa yang rata-rata 13 jam, maka lebih dari setengah waktu tersebut dihabiskan untuk berselancar di dunia digital—baik dalam maupun di luar Ramadan.
Lebih spesifik, media sosial menyita 3 jam 11 menit per hari dari waktu online masyarakat Indonesia. Ini juga lebih tinggi dari rata-rata global yang hanya 2 jam 23 menit. Indonesia pun masuk dalam 10 besar negara dengan penggunaan media sosial tertinggi, berlawanan dengan tren di negara-negara maju yang justru semakin membatasi konsumsi digital mereka.
Tren platform juga mengalami perubahan. Riset Indonesia Indicator (I2) 2024 menunjukkan bahwa TikTok menjadi media sosial paling populer, dengan waktu penggunaan rata-rata bulanan tertinggi mencapai 38 jam 26 menit per pengguna. Konten edukasi, hiburan, keseharian, kuliner, kecantikan, fesyen, dan kesehatan mendominasi platform ini. Sementara itu, Instagram dan TikTok menunjukkan atmosfer digital yang lebih positif, dengan dominasi sentimen netral dan positif, serta tingkat sentimen negatif yang relatif rendah, hanya 8-9 persen.
Lebih jauh, analisis emosional memperlihatkan bahwa interaksi digital di Indonesia tahun ini didominasi oleh anticipation (antisipasi), trust (kepercayaan), dan joy (kebahagiaan). Ini menegaskan bahwa media sosial bukan sekadar tempat berbagi konten, tetapi juga ruang untuk membangun harapan, kepercayaan, dan solidaritas digital di tengah perubahan jaman.
Dengan habit pengguna internet seperti di atas, melarang warganet Indonesia meninggalkan internet dan media sosial selama Ramadan, tidak mungkin terjadi. Paling bisa, adalah mendorong seorang muslim untuk membatasi penggunaannya atau mengendalikan algoritma media sosialnya.
Hal ini dapat dipahami, karena memang sifat teknologi persuasif, user centred design, yang dapat menstimulasi dopamin (rasa bahagia) saat terus menggunakan media sosial. Tapi secara sadar atau tidak, hal itu dapat memunculkan bias kognitif dari muslim milenial terhadap konten islami. Algoritma media sosial punya peran signifikan dalam penanaman terhadap konten islami yang memapar seorang muslim penggunanya.
Rozi (2023) dalam buku “Tabayyun Digital, Dialektika Algoritma dan Penggunaan Media Sosial Konten Islami” menyatakan, pengguna media sosial perlu mengendalikan algoritma media sosialnya. Pengendalian itu dengan mengenali teknologi media sosial yang digunakan, dan mengelola algoritma media sosial yang digunakan.
Beberapa cara yang dapat digunakan antara lain, memastikan konten Islami (baca: Ramadan) yang dikonsumsi berasal dari akun ofisial (resmi) atau akun yang berintegritas. Kedua, mengatur ulang pertemanan, meng-unfollow, meng-unsubscribe akun yang tidak penting atau akun anonim. Ketiga, rutin menghapus history (riwayat) pencarian di akun media sosial masing-masing hingga menjaga jempol dari menekan tombol like dan berkomentar di sembarang akun.
Dengan pendekatan yang lebih proaktif, seperti memilih sumber informasi yang kredibel, menyusun ulang interaksi digital, serta secara berkala membersihkan riwayat pencarian, seorang muslim dapat tetap terhubung dengan dunia digital tanpa kehilangan esensi spiritualitas di bulan suci.
Harapannya, seorang muslim dapat memahami media sosial konten islami sebagai entitas ruang publik virtual memiliki teknis algoritma tertentu, yang berpotensi menimbulkan bias pengetahuan dan pemahaman tentang Islam. Pada akhirnya, bukan sekadar teknologi yang mengendalikan manusia, tetapi manusia yang seharusnya mampu mengendalikan teknologi yang digunakannya. Bisa yuk..(*)
*) Penulis adalah Dosen UINSU, Peminat Kajian Komunikasi Digital dan Praktisi Media