Ads

Konsumerisme Lebaran: Sewa iPhone dan Konsumsi Simbol

redaksi
28 Mar 2025 21:38
6 menit membaca

oleh: Purjatian Azhar

LEBARAN idul fitri adalah puncak dari ibadah puasa Ramadhan yang dilaksanakan selama satu bulan penuh. Lebaran menjadi pembuktian bahwa telah selesainya puasa dilaksanakan. Meski demikian, tidak hanya yang berpuasa saja yang ikut berlebaran, yang tidak melaksanakan puasa juga mengikuti lebaran.

Lebaran idul fitri sejatinya dapat dimaknai sebagai bentuk kemenangan setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadhan. Oleh karena itu banyak orang yang dengan penuh suka cita dalam menyambut datangnya lebaran. Bentuk suka cita itu bisa dilihat dalam berbagai bentuk dan manifestasinya.

Ada yang menyambut lebaran dengan penuh suka cita dan kegembiraan dengan segala sesuatu yang baru seperti membeli baju baru, sendal dan sepatu baru. Bahkan seisi rumah juga harus baru. Tujuan nya tentu untuk menyambut tamu atau pun tetangga yang akan datang ke rumah, selain itu juga menjadi pembuktian dari pencapaian selama ini.

Menjelang lebaran tahun ini, marak di media sosial tentang adanya jasa persewaan iPhone. Jasa persewaan iPhone yang laris manis di beberapa daerah menjelang Lebaran menjadi perbincangan di media sosial. Masyarakat menyewa iPhone untuk ditenteng ketika buka bersama dengan teman atau relasi, juga untuk dibawa ketika bersilaturahmi di saat Lebaran. Tren ini di dalam sosiologi dimaknai sebagai bisnis simbolik atau untuk kebutuhan simbolik.

Dua fungsi teknologi untuk masyarakat. Pertama, teknologi digunakan masyarakat berdasarkan nilai gunanya. Misalnya, nilai guna dari handphone adalah untuk berkomunikasi, jadi ketika membeli berdasarkan nilai guna, orang akan membandingkan barang yang ditawarkan, serta memilih mana yang paling canggih dengan harga yang paling murah. Kedua, masyarakat melihat fungsi simbolik dari teknologi tersebut. Fungsi simbolik dari teknologi ini akan digunakan untuk menunjukkan kelas sosial seseorang.

Teknologi dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan kelompok lain karena menggunakan alat yang lebih mahal. Karena itu, tren sewa iPhone selama Lebaran lebih dapat dijelaskan menggunakan fungsi atau nilai simbolik dari teknologi itu. Penggunakan fungsi simbolik dari teknologi ini bisa menjadi masalah tersendiri. Yang jadi masalah adalah ketika seseorang tidak memiliki uang, tetapi ingin diakui sebagai kelas atas. Dengan begitu, hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan pengakuan lebih besar dari kebutuhan akan komunikasi.

Masyarakat Konsumsi Menurut Jean Baudrillard

Menurut pandangan Baudrillard, konsumsi masyarakat kini bukan lagi komoditas itu sendiri melainkan nilai tanda atau nilai simbolis dari komoditas yang mampu memberi citra, kesan terhadap penggunanya. Pendek kata, masyarakat pada era ini umumnya membeli barang atau jasa bukan karena mempertimbangkan nilai fungsi atau nilai guna dari suatu produk melainkan lebih memilih mengkonsumsi produk yang diasumsikan mampu memberi sebuah identitas atau simbol status pada dirinya.

Dikotomi nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange-value) ditransendir oleh sebuah ungkapan “perjuangan untuk pengakuan” dalam rupa status, identitas, dan lain sebagainya, konkretnya seseorang membeli pakaian bukan lagi semata-mata untuk menutupi tubuhnya, atau sebagai barang yang memiliki nilai jual (saleability) tertentu, melainkan membelinya demi status dan identitas dalam masyarakat.

Konsumsi seperti ini biasanya dipengaruhi oleh tren gaya hidup (life style) yang telah menghegemoni sebagian besar kehidupan masyarakat, mulai dari media sosial, media elektronik, media cetak hingga lingkungan sosial tempat individu tumbuh dan berkembang semua mengkonstruksikan bagaimana seseorang harus tampil dengan apa yang seharusnya dikenakan untuk menegaskan status sosial mereka.

Pada umumnya masyarakat selalu memilih produk yang berbeda dari apa yang dikenakan orang lain untuk “tampil beda”. Dengan alasan ingin “tampil beda” tersebut, produk-produk diciptakan untuk tujuan memperoleh “perbedaan” yang dinginkan, karena dengan perbedaan itulah masyarakat memiliki “status sosial” dan “makna sosial”. Pada dasarnya, tanda yang dimiliki oleh sebuah objek konsumsi memang secara nyata mampu membentuk sebuah hierarki dalam jenjang yang tidak dapat dijelaskan, dalam berbagai model. Tidak heran jika pencarian status, materialisme, dan hedonisme menjadi nilai dominan pada masyarakat ini.

Konsumsi dalam konteks ini tidak ditujukan untuk mencari kenikmatan, namun menggunakan objek hanya untuk memperoleh perbedaan serta kedudukan dalam lingkungan sosial. Artinya, ketika orang mengkonsumsi suatu objek tertentu menandakan bahwa posisi orang tersebut sama dengan orang lain yang mengkonsumsi objek yang serupa, dan di saat yang sama mereka berbeda dengan orang yang mengkonsumsi objek lain. Inilah bentuk sebuah kode, yang mengontrol apa yang kita konsumsi dan apa yang tidak konsumsi.

Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat tidak membeli apa yang mereka butuhkan, melainkan membeli apa yang kode sampaikan tentang apa yang seharusnya dibeli. Disinilah letak ketidakbebasan masyarakat sebagai konsumen untuk mengkonsumsi, karena konsumsi mereka bukan berdasar pilihan bebas, melainkan bersumber dari keinginan yang dikemas menjadi kebutuhan.

Hiperrealitas Gaya Hidup

Tren sewa iPhone dapat disebut sebagai fenomena hiperrealitas. Fenomena hiperrealitas atau realitas yang dilebih-lebihkan membuat masyarakat melihat realitas dan fantasi secara kabur atau tidak jelas. Tren sewa iPhone dapat dikatakan sebagai fenomena hiperrealitas dilihat dari tujuan orang tersebut saat menyewanya. Ada kalanya orang tidak percaya diri dengan realitas yang dimiliki. Sehingga perlu menambah realitas yang dimiliki dengan berbagai macam citra atau kemasan. Hal tersebut tentunya akan memunculkan kesan bahwa seseorang memiliki sesuatu yang membedakan dirinya dengan orang lain.

Paling tidak ada tiga motif orang menyewa iPhone dalam sudut pandang hiperrealitas secara lebih lanjut. Motif pertama, adalah karena tidak percaya diri dengan realitas yang dimiliki. Realitas di sini diartikan sebagai kondisi diri yang sebenarnya dan apa yang dimilikinya. Motif kedua, karena merasa perlu mengabadikan momen secara lebih bagus dari tampak aslinya. Sebab, kamera iPhone disebut-sebut oleh masyarakat memiliki kualitas yang lebih bagus dari kamera ponsel lain. Motif ketiga, adalah untuk meningkatkan portofolio. Sebab, orang yang menyewa iPhone bisa saja menggunakannya untuk memotret produk penjualan agar lebih indah.

Dari sini dapat dilihat bahwa fenomena hiperrealitas dalam masyarakat modern ini ditandai dengan masyarakat yang “bermain-main dengan dunia fantasi”. Fenomena sosial ini sebenarnya dapat dipahami, tetapi memiliki efek jangka panjangnya. Secara psikologis, hal ini tidak bagus karena akan membuat orang sampai ke titik tidak menyukai dan mempertanyakan diri sendiri. Selain itu, orang menjadi menghabiskan uang untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan hanya memenuhi kebutuhan untuk mendapat pengakuan.

Penutup

Sadar atau tidak bahwa sekarang ini adalah era dimana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun lebih kepada gaya hidup. Demi sebuah citra yang diarahkan dan dibentuk oleh iklan dan televisi, tayangan sinetron, acara infotainment, gaya hidup selebriti dan sebagainya. Kita menjadi tidak pernah terpuaskan, kita lalu menjadi pemboros agung, mengkonsumsi tanpa henti, rakus dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan ketidakpuasan kita menjadi teralineasi karena prilaku konsumsi kita. Pada gilirannya ini akan menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan Makmur padahal miskin. Wallahu’alam.(*)

*Penulis adalah dosen Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN Sumatera Utara, Medan.

x