Takut, hanya 40% Sarana Kesehatan Digunakan Warga Medan

MEDAN, kaldera.id – Saat ini hanya sekitar 40% sarana kesehatan di Kota Medan dimanfaatkan masyarakat. Alasannya karena takut.

Anggota Pansus Covid-19 DPRD Medan, Afif Abdillah mengungkapkan, dengan banyaknya isu yang berkembang di tengah masyarakat, rumah sakit kini menjadi momok baru dimasyarakat.

“Warga tidak mau berobat ke rumah sakit, karena takut di Covid-19 kan (diagnosa terpapar Covid-19),” ungkap dirinya dalam sebuah kesempatan.

Kasus ini merupakan kegagalan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Medan dalam mengklarifikasi isu yang timbul di masyarakat.

Harusnya, saat ada pasien yang meninggal dengan diagnosa Covid-19, Dinkes Medan melakukan cek ulang.

“Tapi posisi saat ini, Dinkes tidak pernah mengklarifikasi sehingga isu hoax semakin panjang beredar,” ucap dia.

Selama ini, kata dia, persoalan pasien positif Covid-19 meninggal dunia penanganannya diserahkan ke masing-masing rumah sakit.

Hal ini yang menyebabkan masyarakat menduga yang tidak-tidak karena persoalan itu tidak ada klarifikasi dari Dinkes Medan atau gugus tugas soal kebenaran ada pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia.

“Kalau kita perhatikan, Dinkes sifatnya hanya menunggu bola. Ini belum lagi soal ada rumah sakit yang memaksa pasien bukan covid malah dicovid-covidkan. Harusnya kan ada klarifikasi dari Dinkes soal ini. Jadi masyarakat tidak menduga-duga,” jelas dia.

Afif mengatakan, lemahnya fungsi pengawasan Dinkes Medan karena masih banyak rumah sakit di ibukota Provinsi Sumut ini yang belum memenuhi persyaratan minimal dalam menangani pasien Covid-19.

“Banyak RS (di Medan) yang ternyata belum memenuhi persyaratan minimal untuk menangani Covid-19. Tidak ada pengawasan dari dinkes,” kata Afif Abdillah.

Ketua Partai NasDem Kota Medan ini juga mengungkapkan tidak adanya alat hepafilter senadadi setiap rumah sakit. Saat ini yang menyediakan alat itu RSU Royal Prima dan RSUP Adam Malik.

“Minimal alat ini kan (hepafilter) harus ada disediakan rumah sakit. Kalau alat ini saja tidak ada, sebaiknya rumah sakit itu jangan diizinkan menangani pasien Covid-19,” kata Ketua Fraksi NasDem DPRD Medan ini.

Menurut Afif, ketiadaan alat hepafilter di rumah sakit mengakibatkan resiko terpapar pandemi di rumah sakit itu cukup tinggi bagi pasien maupun tenaga medis.

Senada, akademisi kesehatan masyarakat dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Putra Apriadi Siregar mengatakan di masa pandemi Covid-19 ini, tugas preventif dari Pemko Medan, khususnya Dinkes tidak berjalan.

“Seharusnya pencegahan benar-benar dilakukan maksimal, agar masyarakat tidak terpapar Covid-19 dari orang yang terinfeksi,” kata dia.

Jadi Pemko Medan punya tanggung jawab dalam pencegahan, tidak hanya sebatas tindakan kuratif atau pengobatan. Contohnya di Jakarta, sambungnya, kasus meningkat karena Dinkes benar-benar mencari kontak erat pasien.

“Masalahnya di Kota Medan belum jelas bagaimana tindakannya. Swab hanya dilakukan pada pasien, preventif dengan swab kepada kontak erat tidak dilakukan. Sehingga meningkatnya kasus tidak terlacak. Kalau saya melihat, gugus tugas Covid-19 Kota Medan bingung apa yang harus dilakukan,” jelas dia.

Terlebih dengan penetapan zona merah, kuning hijau yang dilakukan. Menurut Putra, setelah penetapan zona, masyarakat tidak diberikan instruksi apa yang harus dilakukan. “Setelah ditetapkan zona merah, so what. Masyarakat bingung tidak ada instruksi apapun,” bebernya.

Kurangnya tindakan preventif dan promotif oleh Pemko Medan, jelas dia, membuat warga awam merasa ditipu. Tenaga-tenaga kesehatan, khususnya di Puskesmas harusnya bisa diberdayakan sebagai surveilans.

“Nyatanya di lapangan, kita tidak melihat keaktifan tenaga kesehatan ini dalam melakukan treasure kasus,” pungkasnya.(reza sahab)