Rilo Rahmat; Dari Penjaga Masjid, Aktivis hingga Perwira TNI

Letda (CAJ) Rilo berfoto bersama saat pulang ke almamaternya di kampus UINSU.
Letda (CAJ) Rilo berfoto bersama saat pulang ke almamaternya di kampus UINSU.

MEDAN, kaldera.id – Rilo Rahmat Hidayah, 24, boleh jadi tak akan menyangka ia berhasil menjadi perwira TNI Angkatan Darat (AD) berpangkat Letnan Dua. Pemuda yang pernah menjadi penjaga masjid ini, pun mengaku capaiannya itu berkah doa orang tua.

Letda (CAJ) Rilo menjadi salah satu dari 92 perwira TNI di Indonesia yang lulus SEPA PK 2019. Mantan aktivis mahasiswa dan Sekretaris PW GPII Sumatera Utara ini, merupakan lulusan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sumatera Utara.

Rilo kelahiran Sibargot, Labuhan Batu, 5 April 1995. Ia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Kedua orang tuanya merupakan pedagang gorengan di desanya, Sibargot.

“Saya sejak SMA sering bantu mamak jual gorengan. Kerjaan saya setiap hari dari sekolah dasar sampai Madrasah Aliyah,” katanya saat diwawancarai Kaldera.id, Kamis (26/12/2019).

Lahir dari keluarga sederhana bukan menjadi penghalang baginya untuk menjadi orang besar. Dengan tekad dan nasehat yang selalu diberikan orang tuanya menjadikannya orang yang tak mudah menyerah.

“Sejak kecil orang tua saya selalu menanamkan bahwa hidup harus bermanfaat bagi orang lain. Dan selalu mengatakan bahwa saya udah di infaqan kepada negara sehingga ketika saya berbakti kepada negara berarti sekaligus sudah berbakti kepada orang tua,” ujarnya.

Dengan pangkat yang saat ini disandang, tidak membuatnya menjadi sombong dan tinggi hati. Menurutnya dengan pencapaiannya saat ini, bukan sesuatu yang harus disombongkan. Namun menjadi sarana untuk lebih bermanfaat kepada orang lain.

Sejak kecil ayahnya selalu mengajarkannya  untuk hidup sederhana dan berusaha untuk tetap mandiri dan tidak menyusahkan orang lain. Karena ekonomi yang tidak stabil, ketika kuliah ia mencoba untuk tetap bertahan walau dengan uang secukupnya. Saat kuliah juga dia pernah menjadi penjaga masjid, tepatnya di Masjid Al Ikhlas, Jalan Pelita VI, Medan, selama 3 tahun.

“Waktu kuliah saya pernah makan nasi hanya pake garam dan itu saya alami di 6 bulan pertama kuliah. Setelah itu makanan saya  satu tingkat lebih elit yaitu makan mie instan 1 bungkus dibagi 2 dan itu saya alami selama setahun,” katanya.

Karena keterbatasan uang dia juga pernah jalan kaki dari tempat dia kos sampai ke kampus dengan jarak tempuh hampir 10 km.
Menurutnya kunci kesuksesan yang kini tengah diraihnya semua berkat dari doa-doa orang tuanya. Komunikasi dengan orang tua juga selalu dijaganya karena menurutnya sukses yang diraihnya tidak akan berarti tanpa doa dan dukungan orang tua.

“Tingkat kesuksesan itu ada pada orang tua. Pintar pun kita kalau orang tua tidak ridho itu akan jadi sia-sia. Sukses yang saya raih sekarang ini tidak akan pernah berarti kalau saya tidak bisa membaktikan diri saya kepada orang tua saya,” tambahnya. Tampaknya pepatah, bersusah dahulu senang kemudian, tepat untuk kisah ini. Selamat bertugas, Letda (CAJ) Rilo. (finta rahyuni)