MEDAN, kaldera.id – Tata kelola anggaran dalam APBD Kota Medan beberapa tahun terakhir dinilai buruk. Realisasi penerimaan asli daerah (PAD) masih jauh di bawah target.
Tidak hanya itu, kebocoran penerimaan dimana-mana, serta belanja yang terkesan rutin tanpa inovasi menjadi indikator tata kelola APBD Kota Medan jauh dari memuaskan.
Ketua Tax Centre Fisip USU, Hatta Ridho mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, APBD Kota Medan tidak kurang dari Rp6,18 triliun per tahun.
Dengan begitu, dalam lima tahun terakhir, APBD Kota Medan bisa lebih dari Rp30 triliun. “Tetapi justru dampaknya kepada masyarakat masih sangat kurang,” kata Hatta di Medan, belum lama ini.
Imbasnya, sangat wajar jika banyak masyarakat yang kecewa dengan kinerja Pemko Medan seperti itu. Sebab, manfaat pembangunan untuk masyarakat dinilai masih sangat kecil.
Hatta menyoroti PAD yang tidak sampai 40% dari total penerimaan APBD. Angka ini menurut dia masih sangat kecil, terutama untuk membiayai anggaran pembangunan.
Padahal potensi penerimaan Pemko Medan masih sangat tinggi di segala sektor. Namun, karena terjadi kebocoran dimana-mana, realisasi PAD jadi kurang maksimal dan melenceng jauh dari target.
Realisasi Penerimaan Asli Daerah (PAD)
Dia mencontohkan, pendapatan dari sektor retribusi daerah pada 2019 hanya sebesar Rp90,43 miliar atau sebesar 51,03 persen dari target sebesar Rp177,218 miliar.
Realisasi retribusi IMB hanya sebesar Rp23,89 miliar atau sebesar 34,75 persen dari target sebesar Rp68,77 miliar dan target ini sudah jauh lebih kecil dari target tahun 2018 yang mencapai angka Rp147,74 miliar.
Begitu juga dengan realisasi pendapatan dari pos retribusi parkir tepi jalan umum, hanya sebesar Rp21,99 miliar atau sebesar 45,05 persen dari target sebesar Rp48,81 miliar.
Itu baru contoh kecil. Selama ini bahkan DPRD Medan terus mengkritisi kebijakan anggaran yang diambil Walikota Medan Dzulmi Eldin dan wakilnya, Akhyar Nasution. Belakangan, Akhyar menduduki jabatan sebagai Pelaksana Tugas Walikota Medan usai Eldin tersandung kasus suap.
Menurut Hatta, realisasi PAD itu masih sangat kecil untuk membiayai pembangunan. Sehingga masalah Kota Medan seperti ancaman banjir, kemacetan, drainase dan sanitasi (persampahan) akan sulit terpecahkan.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya inovasi dan kreativitas pemimpin Kota Medan dalam upaya menggenjot penerimaan. Kondisi ini menyebabkan Pemko Medan sangat mengharapkan bantuan dari dana transfer maupun proyek strategis nasional yang berlokasi di Medan.
Potensi hilangnya penerimaan pajak daerah juga masih tinggi, terutama karena kebocoran penerimaan dari beberapa jenis pajak seperti PBB P2, BPHTB, pajak restoran, pajak reklame dan pajak parkir.
Aspek Sarana Dan Prasarana
“Hilangnya potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah disebabkan masih banyak kelemahan pada aspek penegakan hukum dan pengawasan, sumber daya manusia maupun sarana dan prasarana,” jelasnya.
Penegakan hukum lemah pada tindakan penagihan dan penyitaan di samping kebutuhan biaya operasional yang cukup besar karena harus melibatkan pihak lain.
SDM aparatur pemeriksa pajak dan juru sita pajak masih tidak memadai kuantitasnya, demikian juga ASN Penilai Pajak yg masih langka.
Dari aspek sarana dan prasarana, penggunaan aplikasi teknologi digital untuk mempermudah pelayanan dan pemeliharaan database wajib pajak belum optimal.
Progresivitas baru tampak hanya dalam hal pemanfaatan tapping box (bantuan dari Bank Sumut) untuk mencegah manipulasi data dasar pengenaan pajak (dari pembukuan) oleh wajib pajak.
Masalah lain adalah kreatifitas pimpinan dalam membangun sistem yang dapat meningkatkan perolehan PAD masih sangat kurang.
Model partisipatoris (pemberdayaan masyarakat) juga jarang terlihat dalam menyiasati kekurangan anggaran untuk mengatasi persoalan banjir, kemacetan, persampahan dan pemeliharaan fasilitas umum termasuk cagar budaya.
Perolehan PAD Masih Kurang
Power untuk melakukan koordinasi dengan instansi lain termasuk pemerintah pusat dan pemerintah provinsi juga belum kelihatan tajinya.
Branding image Kota Medan sebagai Paris van Sumatera sejak masa kolonial makin hari semakin hilang akibat kondisi lingkungan dan penataan ruang yang menurun kualitasnya serta tidak mendapatkan prioritas kebijakan alokasi anggaran yang memadai.
Hal ini membuat akselerasi pembangunan Kota Medan sebagai Kota Metropolitan masih tertinggal dari kota metropolitan lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Makassar bahkan Palembang. Miskinnya inovasi dalam membuat program merupakan salah satu penyebabnya.
Program yg dibiayai APBD terkesan rutin, tanpa kreasi untuk menjadikan APBD sebagai stimulus. Bila dibandingkan dengan Surabaya sebagai contoh, kebijakan Pemko Surabaya berhasil mengubah sampah padat seberat 1500 Ton/hari menjadi energi listrik yang dihasilkan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di TPA Benowo.
PLN pun membeli 11MW daya listrik yg dihasilkan PLTSa Benowo. Sementara di Medan, dari sampah yang dihasilkan seberat 2000 ton sampah/hari, hanya 1500 Ton yg bisa diangkut armada sampah dan dibuang di TPA Terjun tanpa bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang bernilai ekonomis.
“Ini memperlihatkan kalau pemimpin Kota Medan sebelumnya kurang kreatif dan inovatif. Pemimpin ke depan harus mampu untuk mengatasi masalah-masalah ini, agar pembangunan Kota Medan lebih maksimal,” pungkasnya. (reza sahab)