MEDAN, kaldera.id – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menghentikan penuntutan perkara penganiayaan yang diusulkan Kejari Batubara setelah sebelumnya dilakukan ekspose kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Kejagung RI Dr. Fadil Zumhana, didampingi Direktur TP Oharda Agnes Triani, SH, MH Selasa (7/2/2023).
Ekspose kepada JAM Pidum diikuti oleh Kajati Sumut Idianto, SH,MH didampingi Wakajati Asnawi, SH,MH, Aspidum Arip Zahrulyani, SH,MH, Koordinator pada Bidang Pidum Gunawan Wisnu Murdiyanto SH MH, Kabag TU, Kasi Oharda Zainal, Kasi Terorisme dan Lintas Negera Yusnar, Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH,MH serta Kasi lainnya.
Menurut Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan menyampaikan bahwa perkara yang diajukan untuk dihentikan penuntutannya berasal dari Kejari Batubara dan kegiatan ekspose juga diikuti Kajari Batubara Amru E Siregar, SH, MH serta Kasi Pidum dan Jaksa Penuntut Umum.
“Perkara yang dihentikan adalah atas nama tersangka Muhammad Syafi’i yang melakukan penganiayaan terhadap saudara sepupunya sendiri Ahmad Fauzi,” kata Yos.
Pasal 351 ayat 1 KUHP
Kronologisnya adalah, tersangka tidak terima bola lampu yang dibelinya dari Ahmad Fauzi tidak berfungsi, lantas M Syafi’i memulangkan bola lampu tersebut tapi Ahmad Fauzi tidak mau rugi dan tidak mau mengganti bola lampu tersebut. Lalu, M Syafi’i mengadu ke orang tuanya dan sekaligus membawa pisau dapur.
“Tersangka langsung mengayunkan pisau ke arah Ahmad Fauzi dan mengenai lehernya. Tersangka dikenai Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan,” tandas Yos.
Karena masih saudara sepupu, kata mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini, antara tersangka dan korban akhirnya berdamai dan bersepakat untuk tidak melanjutkan perkaranya.
“Setelah dilakukan mediasi dan bersepakat untuk berdamai, korban Ahmad Fauzi memaafkan perbuatan tersangka dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” tandas Yos A Tarigan.
Alasan dilakukannya penghentian penuntutan terhadap perkara ini, karena antara pelaku dan korban sudah saling memaafkan. Dan, korban telah memaafkan tersangka dan dilakukan perdamaian tanpa syarat disaksikan penyidik, tokoh masyarakat dan keluarga. Tersangka juga berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Penghentian penuntutan dengan penerapan restorative justice ini, kata Yos A Tarigan juga berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020, yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian di bawah dua setengah juta rupiah, ancaman hukuman di bawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga.
“Pelaksanaan RJ ini juga bertujuan untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dan menciptakan harmoni di tengah-tengah masyarakat, dimana antara tersangka dan korban sama-sama memperoleh rasa keadilan dan tidak ada dendam setelah saling memaafkan,” tegasnya.(ali amri/red)