MEDAN, kaldera.id – Pengunjung Istana Maimun di Medan, Sumatera Utara mengeluh karena istana peninggalan Kesultanan Deli itu lebih mirip pasar. Banyak orang berdagang di dalam bangunan cagar budaya itu.
Ketua Yayasan Sultan Ma’moen Al Rasyid, Tengku Embi selaku pengelola Istana Maimun menjelaskan kisah di balik terciptanya suasana mirip pasar tersebut.Dia bilang, kondisi sempat membuat cekcok di antara keturunan Sultan Deli.
“Jadi gini, setiap ada sesuatu itu pasti ada penyebabnya. Kalau orang kan tahunya kasih komentar jelek, penyebab, kan orang harus tahu juga,” kata Tengku Embi kepada detikSumut saat dijumpai di kompleks Istana Maimun, Sabtu (4/3/2023).
Tengku Embi menjelaskan tercipta suasana mirip pasar tersebut berkaitan juga dengan Pemkot Medan. Keberadaan pedagang di dalam Istana Maimun sudah sejak 10 tahun yang lalu. Saat itu baru tiga pedagang.
“Jadi berkaitan sebenarnya dengan pemerintah, jadi masalah pedagang ini di atas (dalam Istana Maimun) ini udah lama, dari 10 tahun yang lalu sudah ada tapi masih sekitar tiga lah pedagangnya,” jelasnya.
Tiga orang tersebut merupakan ahli waris dari total 300-an keturunan Sultan Deli dari masa ke masa. Biarpun hanya tiga orang pedagang saat itu, ternyata setiap pedagang mewakili puluhan ahli waris atau istilah dari Tengku Embi adalah sebagai backup.
Oleh pengurus yayasan yang lama sebelum Tengku Embi, tiga orang pedagang tersebut dilarang berjualan di lokasi tersebut. Namun tiga orang itu tidak mau karena merasa memiliki hak atas Istana Maimun.
Istana Maimun sempat ditutup untuk umum selama sebulan
Akibatnya adanya konflik tersebut, Istana Maimun saat itu sempat ditutup untuk umum selama sebulan. Keributan itu terjadi sekitar tahun 2017 yang lalu.
“Akibatnya terpaksa lah ditutup Istana Maimun selama sebulan, ditutup untuk umum kira-kira enam tahun yang lalu. Karena capek dilarang tidak bisa, ditutup satu bulan,” ungkapnya.
Saat peristiwa tersebut, Tengku Embi belum menjadi ketua yayasan. Akibat adanya konflik tersebut, ia akhirnya mengambil alih yayasan tersebut sebagai ketua.
Namun, ternyata jumlah pedagang semakin banyak, yang awalnya tiga menjadi enam orang. Tiga orang yang bertambah tersebut merupakan pengurus yang lama, yang awalnya melarang berjualan di dalam Istana Maimun
“Pedagang ini tambah banyak karena yang melarang dia tadi ikut berdagang juga pengurusnya, karena nggak bisa dilarang ikut juga, nah bertambah jadi enam,” ucapnya.
Enam pedagang tersebut awalnya diletakkan oleh Tengku Embi di bagian belakang Istana Maimun. Bukan di balai room seperti saat ini. Namun setiap pedagang memperbesar lapak jualannya, bahkan sempat terjadi cekcok.
“Ketika terjadi persaingan dagang antara orang ini, banyaklah recok-recok, ada yang memperbesar wilayah biasalah itu,” bebernya
Demi menjaga suasana Istana Maimun yang sangat bersejarah tersebut, Tengku Embi kemudian mencoba berkomunikasi dengan Pemkot Medan yang saat itu Wali Kota Medan masih Akhyar Nasution. Namun respons dari Pemkot Medan saat itu tidak ada, meskipun surat sudah dilayangkan untuk membantu membangun lapak jualan di halaman Istana Maimun bagi pedagang tersebut.
Karena tidak direspon oleh Pemkot Medan, Tengku Embi kemudian mencoba bekerja sama dengan pihak swasta, yaitu Indomaret. Saat itu Indomaret bersedia membantu dana Rp 200 juta dengan catatan Istana Maimun bersedia menyewakan lahan untuk pembangunan gerai Indomaret di kompleks Istana Maimun.
“Jadi waktu itu saya minta kepada pemerintah, disurati, nggak ada tanggapan, akhirnya saya bekerjasama dengan swasta, Indomaret, bersedia memberikan uang sewa lah selama empat tahun Rp 200 juta, nanti setelah empat tahun itu bangunan itu untuk kami, jadi saya buatlah kios, kios ini untuk menampung orang itu untuk ke bawah,” ucapnya.
Mendengar akan dibangun Indomaret, Tengku Embi menyebutkan para pihak pedagang tersebut mengompori Pemkot Medan. Dengan alasan tidak memiliki IMB, adanya pengaduan dari pihak keluarga keturunan Sultan Deli hingga cagar budaya bangunan Indomaret itu pun dibongkar oleh Pemkot Medan di masa kepemimpinan Akhyar Nasution.
Bangunan Indomaret yang dihancurkan tersebut berdiri di sudut kompleks Istana Maimun yang disebut masuk zona tiga. Saat ini bekas dari bangunannya masih ada, hanya saja ATM yang dibangun saat itu tidak dihancurkan dan malah dibiarkan berdiri.
Padahal menurut Tengku Embi, kerjasama tersebut dilakukan setelah dia bersama pembina dan ahli waris melakukan rapat dan setujui dalam rapat tersebut. Selaku ketua yayasan, Tengku Embi merasa Pemkot Medan tidak mendengar pendapatnya.
“Saya ketua umum yayasan di sini, suara saya tidak didengar oleh pemerintah, malah suara orang ini yang didengar, jadi bisa dibayangkan kan, kita sudah buat solusi, pemerintah menghancurkan dengan tanpa bertanya, dadakan itu,” ujarnya.
“Waktu itu masih Pak Akhyar (Wali Kota Medan), pening dia kok banyak kali yang ngadu, udah runtuhkan aja katanya, tanpa kompromi,” imbuhnya.
Tengku Embi juga mengaku sudah berkomunikasi dengan Sultan Deli XIV, Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alamsyah, untuk membicarakan tentang solusi untuk keluarga yang berjualan di dalam Istana Maimun. Dengan membuat aturan yang baku terkait aktivitas jualan itu.
Sebab selama ini saat dibuat rapat membahas soal itu, hanya satu hingga dia pedagang yang datang. Belum lagi beda pendapat yang kerap terjadi, sehingga Sultan Deli yang dianggap kedudukannya sebagai pengayom keluarga harus dilibatkan.
“Akhirnya saya hubungi Sultan Deli, Sultan Deli ini kan bagian dari ahli waris dia punya kedudukan sebagai pengayom lah kan,” katanya.
Sultan Deli selalu menghindar
Tengku Embi menyebutkan Sultan Deli selalu menghindar dari dia saat membahas persoalan tersebut. Karena tidak ada kebijakan, akhirnya suasana mirip pasar tersebut akhirnya viral seperti sekarang.
“Ternyata Sultan Deli nya sudah dibisikkan orang itu juga, akhirnya Sultan Deli menghindar dari saya, nah ketika Sultan Deli menghindar, nah terjadilah ini kan, viral kan,” sebutnya.
Tengku Embi berharap, Pemkot Medan menjadi penengah dalam situasi saat ini. Sehingga dibuat aturan oleh Sultan Deli dan yayasan selaku pengelola, di mana Pemkot Medan bertindak sebagai saksi.
“Siapa yang salah? Solusinya ada, pemerintah lebih baik menghubungi pihak pengelola, saya, untuk mencari solusi, yaitu aturan tadi memang harus dibuat, jadi aturan dari Sultan Deli dan pengelola digabung, pemerintah jadi saksi,” tutupnya. (det)