MEDAN, kaldera.id – Pemberitaan tentang Ustad Hanan Attaki berbaiat menjadi Anggota Nahdlatul Ulama (NU) mendapat perhatian yang cukup tinggi dari masyarakat. Lantas, bagaimana pendapat dari kalangan akademisi tentang langkah Hanan Attaki ini?
Dosen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan, Dr. Faisal Riza, MA, mengatakan bahwa Hanan Attaki yang bergabung menjadi kader NU sebagai pilihan rasional. “Gerakan NU itu sudah semakin membesar dan mengglobal,” kata Faisal Riza, kemarin.
Dia mengatakan, transnasionalisme massif pasca Soeharto. Namun, di era Jokowi mengalami tekanan dari dua arah. Tekanan pemerintah yang berkomitmen mengembangkan keadaban demokrasi, moderasi beragama, ideologi kebangsaan, toleransi dan keragaman.
“Selanjutnya, pemerintah mengambil sikap tegas terhadap kelompok yang mengganggu komitmen tersebut,” ujarnya.
Kedua, institusionalisasi kelompok Islam seperti NU yang menguat seiring dengan promosi pemerintah terhadap moderasi beragama dan resistensi masyarakat terhadap kelompok transnasional. Ini yang membuat gerakan seperti transnasional, misalnya, terdesak.
“Jadi di antara strategi mereka ya melebur ke ormas besar. Mungkin untuk kebutuhan adaptasi atau insentif lain. Yang penting tujuan dakwah tercapai,” sebutnya.
Kemudian, munculnya persoalan hukum yang mendesak beberapa figur harus berurusan dengan cap materai dan tuntutan maaf. Karena itu, kata penulis buku “Aktivisme Islam Kaum Urban” ini, sangat mungkin Hanan Attaki membutuhkan pengaturan ulang strategi dakwah.
“Termasuk bergabung pada kelompok besar seperti NU, yang dianggap lebih pas secara ideologi dan psikososial masyarakat Islam di sini. Dalam kasus Indonesia, NU selain telah menyejarah, juga lebih dekat dengan psikososial masyarakat di hampir seluruh level dan demografis. Kelas bawah sampai elit, desa maupun kota,” pungkasnya.(reza)