Oleh Armin Nasution
MEDAN, kaldera.id – SEBENARNYA dalam teori makro ekonomi sudah jelas bahwa government expenditure (pengeluaran pemerintah) merupakan pendorong pendapatan nasional. Faktor pengeluaran pemerintah ini menjadi penting selain konsumsi, investasi serta ekspor dikurangi impor.
Coba kita lihat, ketika semua variabel lain (konsumsi, investasi, ekspor-impor) lumpuh dihantam pandemi maka yang paling bisa diandalkan adalah pengeluaran pemerintah. Kita bisa lihat saat pandemi covid-19 yang melumpuhkan semua lapangan usaha dan aktivitas masyarakat, maka langkah taktis yang dilakukan pemerintah adalah merelokasi anggaran dari pusat sampai daerah. APBN sampai APBD semua provinsi dan kabupaten/kota direalokasi untuk mengatasi dampak pandemi. Sumber uang itu ada di pemerintah. Penggerak perekonomian itu, motornya pemerintah.
Hal itu juga yang dilakukan oleh Pemprovsu merelokasi APBD-nya untuk mengatasi pandemi. Ketika secara perlahan ekonomi mulai membaik, maka porsi APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah) ini akan kembali ke titik awal.
Secara umum, dalam situasi normal pun anggaran pendapatan dan belanja negara (daerah) berperan penting sebagai stimulus perekonomian. Sepanjang tahun ini APBD Sumut dipatok pada angka Rp14,1 triliun. Tentu setiap tahun mengalami kenaikan. Pembentukan perekonomian melalui skema APBD ini ditopang dengan APBD kabupaten/kota yang ada di Sumut. Jumlahnya jika ditotal mencapai Rp45,9 triliun.
Artinya dari APBD saja, gabungan antara Pemprovsu dengan kabupaten/kota itu sudah mencapai Rp60,1 triliun. APBD di masing-masing daerah ini tentu berfungsi sebagai stimulus menggerakkan perekonomian daerah, selain untuk gaji pegawai tentu dialokasikan untuk belanja sektor riil seperti pertanian, UMKM, industri dan belanja modal untuk infrastruktur.
APBD ini juga digunakan untuk meningkatkan belanja sosial atau bantuan langsung tunai yang secara langsung akan menjaga daya beli (konsumsi) masyarakat. Problemnya tentu saja pada realisasi.
Seharusnya kucuran anggaran ini makin cepat diserap tentu makin baik dengan tetap mengendepankan prinsip kehati-hatian (prudent). Jika melihat kinerja APBD Sumut hingga triwulan pertama masih ada deviasi karena seharusnya hingga Februari 2023, kucuran anggaran ini sudah terserap sampai Rp2,2 triliun, namun di lapangan baru terealisasi Rp1,4 triliun, atau ada gap sekira Rp800 miliar.
Problem ini sejujurnya sempat jadi masalah dari tahun ke tahun. Sehingga pernah tahun lalu Gubsu Edy Rahmayadi meminta agar daerah yang dananya tidak terserap segera menyelesaikannya.
Gubsu sempat meminta seluruh bupati/wali kota untuk segera mempercepat serapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2022. Ini disampaikannya Agustus tahun lalu saat rapat Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) bersama Forkopimda dan bupati/walikota se-Sumut.
Menurutnya, hingga 3 Agustus 2022 lalu masih ada dana mengendap Rp35,4 triliun yang terdiri dari APBD kabupaten/kota Rp28 triliun dan provinsi Rp7,4 triliun. “Saya minta ini segera dipercepat. Untuk apa dana itu diendapkan di bank. Tolong dipercepat serapannya, agar inflasi di Sumut ini terus terkendali,” kata Gubsu waktu itu.
Tuntutan itu tentu harus direspon cepat. Karena selain menjadi faktor pendorong utama dalam perekonomian secara terstruktur nanti diharapkan akan mampu membantu mengurangi kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, membuka lapangan kerja dan investasi baru, pemerataan pendapatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan.
Itu sebabnya ketika sektor lain belum pulih, terutama usai pandemi covid-19 maka harapan utama pendorong roda ekonomi, tertumpu pada APBD. Dengan situasi saat ini ketika semua sektor sedang berusaha pulih, dorongan APBD Sumut menjadi tumpuan.
Karena dengan kondisi saat ini saja, diperkirakan uang beredar di masyarakat sebagai pergerakan ekonomi bisa dilihat dari kredit yang mencapai Rp248 triliun, kemudian investasi sebesar Rp41 triliun, lalu APBD provinsi dan kabupaten/kota mencapai Rp60 triliun, ditambah konsumsi masyarakat Rp205 triliun. Sehingga perputaran uang tersebut mencapai Rp552 triliun.
Kuncinya tentu saja pada percepatan realisasi anggaran. Sebesar apapun APBD kita jika kemudian tidak terserap maksimal akan menghambat target pertumbuhan. Seperti dalam konteks makroekonomi, APBD itu memiliki banyak tujuan seperti mengatasi inflasi daerah, mengurangi pengangguran, bahkan turut mendorong daya beli.
Jika realisasi APBD tercapai dan tepat sasaran wajar kalau kemudian daerah ini mendapatkan apresiasi atas kinerja. Percepatan realisasi ini pula yang kemudian menjadi penggerak pertumbuhan serta solusi atas ketimpangan pendapatan yang masih terjadi. Ingat Kementerian Dalam Negeri pun apresiasi kepada daerah dengan serapan anggaran tertinggi.