Hingga Agustus 2023, Kejari Asahan dan Simalungun Juara Restorative Justice

Hingga Agustus 2023, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah melakukan penghentian penuntutan terhadap 87 perkara yang berasal dari 28 Kejari dan 9 Cabjari yang ada di wilayah hukum Kejati Sumut.
Hingga Agustus 2023, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah melakukan penghentian penuntutan terhadap 87 perkara yang berasal dari 28 Kejari dan 9 Cabjari yang ada di wilayah hukum Kejati Sumut.

 

MEDAN, kaldera.id -Hingga Agustus 2023, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah melakukan penghentian penuntutan terhadap 87 perkara yang berasal dari 28 Kejari dan 9 Cabjari yang ada di wilayah hukum Kejati Sumut.

Pada Senin, (21/8/2023) Kejati Sumut kembali hentikan 4 perkara setelah sebelumnya sudah ada 83 perkara yang dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif, total jumlah perkara yang dihentikan dengan RJ hingga Agustus sebanyak 87 perkara.

Menurut Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH,MH, Senin (21/8/2023) dari 87 perkara tersebut, urutan pertama penyumbang RJ adalah Kejari Asahan dengan jumlah perkara yang sudah dihentikan penuntutannya dengan RJ sebanyak 9 perkara.

Disusul Kejari Simalungun berada di urutan 2 dengan jumlah perkara sebanyak 8 perkara. DI urutan ketiga (3) adalah Kejari Langkat dan Cabang Kejaksaan Negeri Deli Serdang di Labuhan Deli dengan 7 perkara.

“Untuk Kejari Asahan, Kejari Simalungun dan Kejari Langkat yang wilayahnya didominasi kawasan perkebunan, maka perkara yang diajuka untuk dihentikan penuntutannya kebanyakan perkara pencurian kelapa sawit,” papar Yos A Tarigan.

Kejari lainnya berada di urutan 4 adalah Kejari Labuhan Batu dan Kejari Belawan masing-masing menyumbng 6 perkara, sementara di urutan ke-5 Kejari Tanjung Balai dengan menyumbang 5 perkara. Kejari dan Cabang Kejaksaan Negeri lainnya masih menyumbang 1 sampai 3 perkara. Bahkan, ada juga Kejari dan Cabjari yang belum memiliki perkara untuk dihentikan penuntutannya degan pendekatan keadilan restoratif.

Proses penghentian penuntutan perkara

“Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini lebih kepada esensinya, kenapa seseorang itu melakukan tindak pidana, dan pelaku tindak pidana menyesali perbuatannya dan menyampaikan permohonan maaf kepada korbannya. Dalam proses perdamaian, korban juga memaafkan pelaku yang berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” kata Yos A Tarigan.

Proses penghentian penuntutan perkara, lanjut Yos sudah mengikuti beberapa tahapan dan yang paling penting dalam penghentian penuntutan perkara ini adalah pelaku belum pernah melakukan tindak pidana dan proses perdamaian antara tersangka dan korban disaksikan tokoh masyarakat, keluarga dan jaksa penunut umum.

“Permohonan penghentian penuntutan perkara berdasarkan Perja No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif tidak dilakukan begitu saja, tapi dilakukan secara berjenjang hingga akhirnya disampaikan ekspose ke Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum). Karena, ada juga perkara yang diajukan untuk RJ tapi ditolak dan tidak disetujui,” tandas mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini.(reza sahab/red)