Kekerasan di dunia pendidikan semakin mengkhawatirkan.
Kekerasan di dunia pendidikan semakin mengkhawatirkan.

 

Oleh: Ahmad Muhajir

MEDAN, kaldera.id – Kekerasan di dunia pendidikan semakin mengkhawatirkan. Terbaru adalah tindakan perundungan dan kekerasan sesama siswa SMP di kecamatan Cimanggu Kabupaten Cilacap.

Dari video yang beredar di media sosial terlihat seorang siswa SMP dengan membabi buta memukul, menendang dan menginjak siswa SMP lainnya hingga tersungkur lemas dan tidak berdaya.

Anehnya, teman-temannya yang ada disekitar tempat kejadian tidak berusaha untuk melerai aksi kekerasan tersebut, dan justru melihat dan menikmati aksi kekerasan tersebut.

Aksi perundungan antar siswa yang berujung pada tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Cilacap sebenarnya dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan sepele seperti persoalan asmara, persoalan beda geng dan kelompok. Tidak ada persoalan besar yang melatarbelakangi aksi kekerasan tersebut.

Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan besar, mengapa anak-anak pelajar di usia remaja begitu nekat melakukan tindakan perundungan kepada sesama temannya sampai kemudian melakukan tindakan kekerasan yang tidak manusiawi?

Eksistensi dan Pengakuan di Kalangan Remaja

Bercerita mengenai masa remaja memang menjadi hal yang menarik, karena pada masa remaja seseorang mengalami banyak perubahan, baik fisik maupun psikis.

Selain itu, pada masa tersebut seseorang akan berhadapan pada masalah-masalah yang kompleks, seperti kondisi emosional yang belum stabil; tingginya semangat berkarya; serta ingin selalu tampil eksis dan mendapatkan pengakuan dari lingkungan di sekitarnya.

Menurut pandangan Piaget (dalam Setianingsih et al, 2015) remaja diartikan sebagai suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi di dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.

Merujuk pada salah satu masalah remaja yaitu selalu ingin tampil eksis dan mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitar, maka dari sini dapat kita ketahui bahwa eksistensi menjadi suatu hal yang teramat penting dan berpengaruh terhadap kehidupan remaja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eksistensi dapat diartikan sebagai hal berada atau keberadaan.

Sementara itu Mahendra (2017) mengartikan eksistensi sosial sebagai menjadi atau mengada; keberadaan yang diakui oleh orang lain. Dari dua pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa eksistensi diri merupakan wujud pengakuan lingkungan sekitar terhadap keberadaan seseorang.

Menurut  pemikiran  Abraham Maslow, terdapat lima tingkat kebutuhan dasar manusia, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan, serta kebutuhan akan aktualisasi diri.

Pada kebutuhan aktualisasi diri itulah seseorang akan berusaha untuk menunjukkan eksistensinya. Maslow beranggapan bahwa kebutuhan aktualisasi diri akan muncul setelah kebutuhan akan penghargaan telah terpenuhi, yang  ternyata tanggapannya kurang tepat.

Pada era  1960-an, ia baru menyadari bahwa banyak remaja di Brandies (tempat mengajarnya dulu) yang belum mencapai aktualisasi diri meskipun kebutuhan reputasi dan harga diri mereka telah terpenuhi.

Berkembangnya  zaman yang disertai dengan  kemajuan teknologi membuat remaja masa kini  lebih leluasa untuk menunjukkan eksistensinya dengan berbagai cara, salah satunya melalui media sosial. Menurut Griggs (dalam Mahendra, 2017) media sosial telah menjadi bagian dari pengalaman tumbuh dewasa untuk remaja.

Terbukti dari data yang menyatakan bahwa remaja adalah  pengguna jejaring sosial online dengan intensitas tinggi (heavy users) (Mutia, 2013).  Heavy users merupakan suatu kondisi dimana penggunaan media sosial menghabiskan waktu lebih dari 40 jam/bulan.

Media sosial memang diciptakan sebagai wadah ekspresi penggunanya untuk menunjukkan eksistensi diri. Namun di sisi lain, terkadang apa yang kita lihat di media sosial justru berkebalikan dengan apa yang terjadi di dunia nyata.

Eksistensi dikalangan remaja sebenarnya wujud dari kebutuhan atas pengakuan diri dari lingkungan sosial. Sayangnya memang yang terlihat hari ini justru eksistensi lahir bukan karena hal-hal yang positif melaikan dari hal-hal yang negatif dan cendrung merugikan orang lain.

Teori Dramaturgi Erving Goffman

Dramaturgi merupakan teori yang diungkapkan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 melalui bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Every Life.

Berdasarkan teori ini, setiap individu dalam kehidupannya memiliki dua panggung, yaitu panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).

Menurut Nasrullah,  yang dimaksud dengan panggung depan adalah segala sesuatu yang ditunjukkan oleh individu ketika ia berinteraksi dengan individu lain atau dalam kelompok masyarakat, bisa disebut sebagai identitas sosial. Sedangkan panggung belakang merupakan tempat di mana individu menyembunyikan identitas personalnya (dalam Dewi & Janitra, 2018).
Goffman selanjutnya membagi panggung depan menjadi dua bagian, yaitu setting dan personal front.

Setting adalah situasi fisik yang harus ada ketika individu menunjukkan aksinya. Sedangkan personal front merupakan alat atau perlengkapan yang dibawa individu ke dalam setting.

Dalam media sosial, setting dapat didefinisikan sebagai  keberadaan fasilitas untuk mengunggah sesuatu, seperti foto dan video. Sementara itu, foto atau video yang diunggah beserta keterangannya (caption) menjadi personal front seseorang.

Berkebalikan dengan panggung depan, panggung belakang letaknya tersembunyi dari pandangan khalayak, yang diciptakan untuk melindungi rahasia pertunjukkan.

Dalam lingkup bermedia sosial, keberadaan panggung belakang akan membantu para penggunanya agar bebas menampilkan diri tanpa takut dihujat atau diberi label negatif oleh orang lain.

Contoh nyata dapat dilihat pada seorang pelajar adalah keberaniannya untuk menganiayaya orang lain sebagai wujud eksistensi diri. Kemudian setelah berhasil, maka orang tersebut akan mempresentasikannya melalui media sosial sebagai panggung depan.

Teori Dramaturgi juga tidak lepas dari pengaruh Cooley tentang the looking glass self, yang terdiri dari tiga komponen. Pertama, individu mengembangkan bagaimana ia tampil sebagai orang lain.

Kedua, individu membayangkan bagaimana penilaian orang lain terhadap penampilan dan keberaniannya.

Ketiga, individu mengembangkan perasaan diri seperti  malu, bangga, sebagai akibat dari penilaian orang lain terhadap dirinya (Suneki & Haryono, 2012). Dengan demikian, kesan tentang apa yang orang lain pikirkan tentang seseorang menjadi suatu hal yang sangat penting.

Seseorang akan berusaha keras untuk mendapatkan umpan balik tentang bagaimana orang lain melihatnya dengan memposting foto dan video mereka di media sosial, agar orang lain dapat  menilai daya tarik mereka.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa fungsi  utama harga diri adalah sebagai sosiometer internal-ukuran popularitas atau nilai relatif seseorang di antara orang lain.

Alternatif Solusi Atas Tindakan Kekerasan di Kalangan Remaja

Melihat kasus perundangan siswa SMP di Cialacap tentu ada hal yang perlu diperbaiki. kurang kuatnya pendidikan karakter pada anak disinyalir sebagai salah satu persoalan yang ada. Apalagi, pertumbuhan karakter tidak hanya dipengaruhi oleh guru di sekolah, namun juga sosial dan orangtua.

Maka ini perlu komitmen bersama. Komunukasi antarsekolah, anak, dan orangtua. Orang tua bila anaknya sudah sekolah seakan lepas tangan dan tidak mau tahu. Guru juga sama, harusnya saling komunikasi, bagaimana anaknya di sekolah atau di luar. Jadi saat ada perubahan perilaku, sama-sama tahu dan bisa mengantisipasi.

Selanjutnya menyarakan agar orangtua maupun guru memberikan kegiatan positif untuk menyalurkan emosi anak. Sehingga sang anak tidak berpikir atau melakukan sesuatu yang mengarah kepada tindakan melawan hukum. Artinya, emosi bisa disalurkan, cari wadah, lewat olahraga misalnya. Agar rasa ingin diakuinya itu juga dapat tersalurkan.

Penulis adalah Dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas