Oleh Armin Nasution
MEDAN, kaldera.id – JUDUL ini menggelitik. Tapi jika dirunut memang begitu faktanya. Tulisan kolom kali ini saya turunkan dari sesi paparan Prof. Syawal Gultom, ketua senat Universitas Negeri Medan (Unimed) saat memberikan paparan pada pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Unimed pada hari Rabu, (01/11/2023) di Gedung Digital Library Unimed.
Hadir pada kegiatan ini Rektor Unimed Prof. Baharuddin serta para wakil rektor yang baru-baru ini dilantik, sekretaris senat, dekan, direktur pascasarjana, wakil direktur, wakil dekan, ketua lembaga, serta barisan pejabat lainnya yang membahas program kerja Unimed 2024 hingga tahun 2027.
Awalnya tentu semua mata menyimak paparan rektor dan ketua senat. Tapi memang Prof. Syawal ini selalu bisa mengalihkan suasana ke situasi kekinian. Distribusi rasa kasihan ini dipaparkannya melalui kalimat aktif. Awalnya Prof. Syawal bicara tentang penguatan mekanisme perencanaan norma, peraturan akademik serta pengawasan program.
Distribusi rasa kasihan muncul ketika dia menjelaskan tentang kualitas lulusan. Prof. Syawal menggelitik hadirin ketika dia paparkan misalnya ada seorang mahasiswa calon doktor yang mengikuti prosesi ujian tertutup. Tidak usahlah kita bahas ujian terbuka, kita mundurkan sedikit ke ujian tertutup. Coba saja, ketika seorang mahasiswa diuji oleh tiga dosen lalu kemudian keluar nilainya. Jika dianalisa dari 10 pertanyaan yang diajukan kemudian dicatat oleh dosen pembimbing ternyata hanya dua yang bisa dijawab, tinggal ditanya ke mahasiswanya apakah yang bersangkutan layak lulus atau tidak. Tapi proses itu tidak berlaku. Pasti walau hanya bisa menjawab dua soal, si mahasiswa akan lulus.
Lucunya, kata dia, kadang-kadang ada juga dosen sudah memberikan nilai sebelum menguji. Inilah yang disebut distribusi rasa kasihan. Kita sering bahkan terlalu banyak bertenggang rasa untuk meluluskan mahasiswa kita tanpa memikirkan kualitas.
Pendidikan kita menurut Prof. Syawal tidak menciptakan kaum terdidik. Hanya menciptakan lulusan yang punya ijazah. Maka begitu misalnya ketika sidang skripsi mahasiswa, yang ada adalah nilai belas kasihan. Walau sebenarnya tak layak lulus.
Distribusi rasa kasihan muncul karena banyak pendidik berpura-pura dan mengabaikan variabel penilai. Kenapa dosen pembimbing misalnya tak berani mencatat dari 10 pertanyaan hanya 2 yang dijawab lalu seharusnya tidak lulus, kenyataannya tetap dikasi nilai tinggi. Distribusi rasa kasihan yang kita pelihara bertahun-tahun, katanya.
Daripada menciptakan sarjana seperti itu lebih bagus kita di kampus tidak punya mahasiswa daripada kesannya ‘menjual ijazah’. Saya kira pernyataan ini benar-benar menampar keras para akademisi. Bukan saja di Unimed tapi menyeluruh ke kampus-kampus lain.
Pernyataannya menohok. Pernah juga Prof. Syawal waktu memberi pembekalan tentang akreditasi di FE Unimed dia sampaikan begini: saya kuatir melihat kapasitas doktor kita. Bagaimana mungkin penilaian kinerja doktor kalau mereka masih sibuk mengejar absen pagi-pagi. Karena seharusnya yang dinilai adalah kinerja akademik tak melulu soal absen.
Kalau kita di akademisi mendengar statement itu rasanya seperti ditampar pipi kiri kanan. “Masa iya dari 8 soal yang diberikan lalu ada 9 yang nilai A. Loh ya saya harus sampaikan ini. Sebagai ketua senat apa nanti pertanggungjawaban saya di akhirat. Saya sudah sampaikan, tinggal bapak dan ibu sekalianlah mau berubah atau tidak,” katanya. Apalagi dalam pandanganya ke depan akan sangat sulit bagi perguruan tinggi untuk eksis kalau tidak memperhatikan kualitas internal dan daya serap lulusan di luar. Termasuk tuntutan agar seluruh akademisi Unimed punya semangat Unimedisme atau rasa bangga terhadap kampus tersebut.
Caranya dengan mengedepankan level intelektual yang menghasilkan orang berintegritas dan jujur. Kualitas perguruan tinggi ditentukan oleh lulusannya. Jika bicara tuntutan kementerian melalui indikator kinerja utama, jauh sebelum ada MBKM (merdeka belajar kampus merdeka), Unimed sudah lebih dulu mendorong mahasiswanya belajar di dunia kerja. Begitu juga pada tuntutan agar kualitas dosen yang aktif di luar disupport penuh kampus. Bahkan Unimed sudah sejak lama mengajak praktisi masuk kampus.
Dosen dan praktisi itu menjadi dua sisi mata uang yang bisa jalan beriringan untuk menghasilkan lulusan terbaik agar mereka bermanfaat di masyarakat. Termasuk menghadirkan inovasi yang bisa dipakai di luar. Apalagi semua tuntutan tentang kurikulum pun sudah lama digunakan Unimed dengan menerapkan case method dan project base learning dan outcome base education (OBE).
Di poin inilah kembali Prof. Syawal menekankan pentingnya manfaat Unimed diterima di dunia luar. Unimed misalnya punya fakultas ekonomi. Terobosan yang dilakukan bisa saja tentang perbaikan tingkat kesejahteraan berbasis akuntasi sederhana. Atau kalau di Unimed ada prodi Bahasa Inggris mestinya kita di internal sudah fasih dan toefl tak kurang dari 600. Sebab di 2026 paling tidak lulusan sudah punya skor IELTS dan TOEFL diatas standar. Ini bahasa Inggris kita pun masih berantakan, katanya.
Pada akhirnya Unimed juga harus mengadopsi 17 indikator sutainable development goals (SDGs) dengan catatan jika tak mampu menerapkannya kita kembali ke zaman primitif. Karena salah satu tuntutannya adalah zero hungry dan no poverty. Dari semua paparan ini Prof. Syawal banyak menguatkan pada penguatan nilai-nilai akademik. Dan kalau dia sudah bicara sering kita tak melihat waktu.
Dulu ketika beberapa kali mengisi dan menjadi motivator di Harian Waspada pun seingat saya begitu. Walaupun durasinya panjang tak terasa lama bagi peserta. Padahal biasanya wartawan sosok yang paling tidak betah duduk lama-lama mendengarkan ceramah.
Dan di paparan Musrenbang ini sebenarnya sudah cukup lama saya tak mengikuti materinya. Pernah sebenarnya kami ‘janjian’ ngobrol dan akan makan siang karena Juli lalu Prof. Syawal terpilih jadi tokoh pendidikan Indonesia dalam Forum Ilmu Pendidikan dan Jurusan Ilmu Pendidikan (FIP-JIP). Tapi setelahnya Prof. Syawal berangkat ke Australia dan kemudian karena sama-sama dipenuhi jadwal masing-masing belum bisa bertemu lagi.
Ada banyak hal sebenarnya yang bisa digali dari sosok ini, termasuk pandangan-pandangan kekiniannya terkait pendidikan, penghapusan skripsi, sampai berbagai hal terkait kualitas pendidikan. Termasuk juga tadi ketika gelar sudah doktor tapi masih lari-lari mengejar absen pagi. Semua yang disampaikannya adalah fakta. Tinggal keberanian kita untuk berubah.