Kesombongan Akademik Jilid Dua

Armin Nasution
Armin Nasution

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – TULISAN ini sebenarnya melanjutkan tulisan beberapa waktu lalu berjudul kesombongan akademik. Diawal dulu sempat saya singgung tentang respon seorang dekan salah satu PTS di Medan yang sama sekali tak mau merespon undangan kegiatan ilmiah yang dikirimkan.

Padahal sebenarnya rektor-nya pun bisa saya kirimkan undangan untuk menyuruhnya hadir. Tapi itu tak saya lakukan karena ingin mengikuti prosedur saja. Ternyata kesombongan akademik ini sudah berurat berakar di banyak kampus dan institusi pendidikan tinggi yang seharusnya memiliki karakter lebih kuat daripada jenjang pendidikan dibawahnya.

Saya ingin bercerita sedikit untuk membuka wacana kita. Dulu saat masih mahasiswa saya sudah terbiasa menulis di beberapa media. Dan itulah yang kemudian mengantarkan saya jadi wartawan pada 1999. Sampai kini pun saya masih mengikuti ritme jurnalistik walau diluar struktur.

Apalagi saya sudah mendapatkan sertifikat kompetensi level utama (pemimipin redaksi) yang dikeluarkan Dewan Pers. Saat masih jadi wartawan, selalu memandang kampus adalah tempat yang agung dan menjunjung tinggi moral akademik. Saya kira dulu di kampus tak saja tempat dosen mengabdikan diri untuk tridharma perguruan tinggi. Tapi juga tempat menempa karakter tak hanya mahasiswa tapi juga dosen dan insan kampus.

Ada 15 tahun lebih saya melihat kampus dari luar saat jadi jurnalis. Dulu saat wartawan punya beberapa narasumber berpengaruh hingga ke pusat. Sebut saja misalnya Prof Bachtiar Hassan Miraza, Polin LR Pospos, Jhon Tafbu Ritonga, Solly Lubis, Prof Moenaf Regar, dan beberapa rektor perguruan tinggi yang dengan mudah kita hubungi, janji ketemu dan wawancara.

Saya ingat dulu di USU masih bisa mewawancara rektor Prof Chairuddin P Lubis, sampai rektor yg sekarang. Juga di Unimed saya masih ingat betapa dekatnya Prof Djanius Jamin dengan wartawan, Prof Syawal Gultom malah sering memberi materi kepada wartawan. Satu lagi dulu di Unimed ada Pak Chairul Azmi (alm. Allohu yarham) yang begitu dekat dengan media. Semoga Allah merahmatinya. Siapapun jurnalis yang menjumpai pulangnya selalu senyum. Sama dengan konsep Gus Irawan Pasaribu dulu saat jadi dirut yang punya konsep siapapun yang berkunjung ke sekretaris direksi Bank Sumut pulangnya harus senyum.

Tentu bukan hanya pengalaman itu. Di media kita bisa menjalin network dengan kepala daerah, gubernur BI, hingga menembus kementerian. Beberapa kali juga ikut meliput kunjungan presiden. Untuk skala daerah, jadi jurnalis itu setidaknya mudah membangun network dan menghubungi narasumber yang langsung direspon.

Di jurnalis karena sering meliput di lapangan, mental kita ditempa jadi lebih militan, terbuka, mampu bekerja dibawah tekanan dan berbaur dalam teamwork. Paling penting bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Kebebasan menulis dan bereksperesi dengan nalar dan argumentasi kuat akan menjadikan berita/tulisan yang dipublikasi mempengaruhi dan dibaca orang.

Jadi dalam fikiran saya, jadi jurnalis saja sudah ditempa dengan karakter seperti itu. Pastilah para akademisi punya karakter lebih kuat, punya nalar akademik yang baik, menjunjung tinggi moral akademik serta mampu berkomunikasi. Setelah masuk kampus lalu berbaur dengan akademisi baru kita faham bedanya.

Akademisi memang dituntut dengan tugas tridharma. Mereka punya tanggungjawab moral mendidik mahasiswa. Bagi mahasiswa, dosen adalah potret. Tempat digugu dan ditiru sebagai jenjang jadi sarjana. Maka lucu kalau kemudian jika ada dosen atau akademisi yang karakternya menyampingkan moral akdemik.

Pekan lalu saya mengikuti paparan Prof Syawal Gultom di acara Musrenbang Unimed. Di situ dia sempat menyinggung beberapa hal terkait moral akademik. Termasuk misalnya ada perguruan tinggi berhasil mendidik tapi melahirkan orang sombong. Sehingga kita tidak memiliki etika masa depan. Kita terus berupaya mendidik yang penting lulusan jadi pintar. Perguruan tinggi pun mengalami pergeseran nilai, katanya.

Pada akhirnya jika akademisi hanya dibesarkan di kampus tidak melek dengan dunia luar, dia hanya akan seperti katak di bawah tempurung. Selalu difikirnya dia hebat karena sudah bisa jadi dosen, apalagi menakut-nakuti mahasiswa. Karakter seperti ini sering menjadi bagian dari kesombongan akademik. Jangankan merespon mahasiswa, membalas chat sesama dosen pun biasanya abai.

Entah kenapa saya pun mengalami kejadian ini pekan lalu saat meminta beberapa isian kepada dosen sejawat. Eh jangankan membalas, merespon pun tidak. Begitulah potretnya. Kalau alasan sibuk, semua orang sibuk. Kalau alasan ada pekerjaan, semua ada pekerjaan. Kalau mau libur dengan keluarga, semua pun punya keluarga. Peliharalah terus karakter seperti itu karena kelak akan terbukti guru kencing berdiri, murid kencing berlari.