Terkait Pajak Pulsa, Gus Irawan: Jangan Bebani Rakyat

Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu saat dimintai responnya atas penerbitan PMK
Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu saat dimintai responnya atas penerbitan PMK

JAKARTA, kaldera.id- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 diserukan untuk ditinjau ulang, karena akan membebani rakyat. PMK ini berisikan penarikan pajak PPN dan PPh atas penjualan pulsa, kartu perdana, token, dan voucher. PMK ini mulai berlaku efektif 1 Februari 2021 mendatang.

Demikian disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu saat dimintai responnya atas penerbitan PMK tersebut, Sabtu (30/1/2021). Menurut dia, saat ini rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi pandemi Covid-19. Tidak semestinya aturan yang sangat bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kecil ini dikeluarkan, walau pemerintah sudah mengucurkan stimulus.

Ingat, ucap Gus Irawan, tidak semua rakyat menikmati dana stimulus tersebut. Apalagi, belum ada pemutakhiran data kemiskinan, sehingga masih banyak rakyat miskin tak tersentuh dana bantuan sosial pemerintah. Jadi, tidak saja momentumnya yang tidak tepat, PMK tersebut juga kian menjerat rakyat miskin pada keterpurukan sosial dan ekonomi.

Saat yang sama, lanjut politisi Partai Gerindra ini, perlu diingat pula pemerintah sedang menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Jawa dan Bali, plus Pemerintah Provinsi Jakarta juga memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). “Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka WFH (work from home) dan belajar daring,” tambahnya.

Gus Irawan memahami, pendapatan pajak anjlok di tahun 2020. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun meleset dari target APBN-Perpres 72/2020 sebesar Rp1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen saja. Namun, bukan berarti itu menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucher.

Meskipun pemerintah berdalih bahwa pemungutan pajak tersebut hanya akan menyasar sampai distributor tingkat dua, namun tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga Rp1.000 hingga Rp2.000. Misalnya, ia mencontohkan, membeli pulsa Rp10.000, maka konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.

“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 untuk pembelian pulsa Rp10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” keluhnya. (armin nasution)