Gus Irawan Soroti Utang Luar Negeri

Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu
Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu

JAKARTA, kaldera.id- Sejumlah kalangan saat ini tengah menyoroti soal utang dan defisit yang dialami Pemerintah Indonesia. Data Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun. Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68 persen. Bahkan, pemerintah kembali menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp1.177,4 triliun. Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp1.207,3 triliun.

Menanggapi peningkatan utang pemerintah ini, Anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu mengatakan defisit APBN akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal untuk menyelamatkan perekonomian di saat pandemi. Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada tahun 2019, menjadi 6,3 persen pada tahun 2020. “Dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021. Tetap perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini,” kata dia, Kamis (18/2/2021).

Kendati defisit merupakan langkah normal di saat resesi, dia turut memberikan catatannya terkait sebagian besar defisit APBN yang dibiayai utang. Semakin lebar defisit, semakin besar juga utang. “Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang,” paparnya. Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir mencapai Rp10 hingga Rp30 triliun tiap tahunnya.

Lebih lanjut Gus Irawan menjelaskan pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN). Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen. “Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional,” tandasnya.

Sorotan lainnya terkait primary balance Indonesia yang dalam beberapa tahun ini selalu tercatat negatif. Ketika primary balance negatif artinya pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang. “Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia,” tegas dia.

Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2020 diperkirakan mencapai minus 4,3 persen dan pada tahun 2021 mencapai minus 3,59 persen. “Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang,” ungkap mantan dirut Bank Sumut ini. (finta rahyuni)