Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

JAKARTA, kaldera.id – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak lagi final dan mengikat serta menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan itu diketok MK atas permohonan mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik.

“Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN’,” ujar Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan yang disiarkan dalam kanal YouTube MK, Selasa (29/3/2022).

MK menyatakan norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Karena itu, menurut MK, pokok permohonan para pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013.

Sementara itu, lanjutnya, dalil Arief-Evi selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh Mahkamah akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.

Frasa ‘bersifat final dan mengikat’

Menurut hakim konstitusi Suhartoyo, dalam amar putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa ‘bersifat final dan mengikat’ harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, ‘adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN’.

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalam putusan perkara a quo, di samping Mahkamah kembali menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Mahkamah juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior,” ujar MK.

Suhartoyo menjelaskan melalui putusan a quo, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ‘bersifat final dan mengikat’ dalam Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.

“Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN,” bebernya.

Terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sambung Suhartoyo, harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN.

Dengan demikian, dalam konteks ini, Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP.

“Selain itu, permohonan para pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum putusan a quo adalah beralasan menurut hukum,” jelas Suhartoyo.

Putusan perkara a quo

Suhartoyo menguraikan bagi MK melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo. Sehingga, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Sebelumnya, Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik yang merupakan Anggota KPU RI mengajukan uji materiil aturan mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dalam UU Pemilu. Keduanya dikenai pemberhentian dari jabatannya oleh DKPP.

MK Tangani 277 Perkara-Hasilkan 253 Putusan Sepanjang 2021. (detik)