Oleh: Fakhrur Rozi
FASE krisis virus corona (Covid-19) masih menyelimuti peradaban dunia. Bulan Ramadhan 1441 H, yang hadir akhir April 2020, pun diprediksi dilalui dalam era virus corona. Covid-19 memaksa kita melakukan social distancing, physical distancing, menghindari keramaian, mengurangi kontak fisik, dan sebagainya yang bertujuan untuk memutus penyebaran virus corona. Umat Islam di seluruh dunia, mengalami perubahan budaya menghadapi Ramadhan tahun ini.
Dari sisi ibadah, tarawih berjamaah di masjid bisa jadi ditiadakan atau buka puasa (ifthar) bersama di masjid atau di ruang publik lainnya mungkin, sementara hilang. Syukurnya di Medan atau Sumatera Utara umumnya belum ada imbauan untuk meniadakan tarawih berjamaah. Dipahami, Ramadhan merupakan bulan suci yang ditunggu umat muslim di seluruh dunia. Di Indonesia bahkan, Ramadhan tidak hanya istimewa bagi umat Islam, tapi juga bagi umat beragama lainnya karena aktivitas ekonomi meningkat saat Ramadhan.
Umat Islam di Indonesia memiliki kebudayaan yang istimewa kala menghadapi Ramadhan. Pertama, ziarah kubur (nyekar), yang biasa dilakukan menjelang Ramadhan tiba. Biasanya kita akan melihat areal pemakaman muslim ramai di saat sekarang ini. Bisa jadi, tahun ini hal tersebut akan berbeda sebab kita sedang diimbau tidak berkerumun.
Kedua, pedagang takjil atau panganan khas selama puasa. Lazimnya, selama Ramadhan kita dapat dengan mudah menemukan kelompok pedagang yang berjualan panganan berbuka puasa di setiap sudut kota. Di Medan misalnya, kita dapat menemukan itu di sepanjang Jalan Amaliun, Jalan HM Yamin, Jalan Halat, atau arena Ramadhan Fair yang sudah belasan tahun ada di seputaran Masjid Raya Medan.
Semua itu mengundang kerumunan orang untuk datang. Tahun ini, semua itu mungkin sekali tak akan terlihat. Adalagi kebiasaan Ramadhan lain seperti ngabuburit, dan mudik, yang notabene akan mengumpulkan orang-orang, bisa saja sirna karena kita sedang dalam era #DiRumahSaja.
Ramadhan Tiba, Bersiap untuk Gegar Budaya
Baru-baru ini, pemerintah (Kementerian Agama RI), menerbitkan panduan ibadah Ramadhan selama pandemi virus corona. Beberapa di antara dalam panduan itu, seperti diketahui, memberikan perubahan yang signifikan pada sistem religi masyarakat Indonesia saat menyemarakkan Ramadhan.
Selain meminta umat Islam di Indonesia agar tarawih, tadarus dan berbuka puasa di rumah, pemerintah juga mengimbau agar umat Islam lebih banyak di rumah saja mengisi ibadah Ramadhan. Dengan situasi yang dipaparkan di atas, penulis merasa umat Islam atau warga Indonesia pada umumnya akan mengalami gegar budaya (culture shock) di masa Ramadhan era virus corona ini. Maka bersiaplah untuk menghadapinya.
Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya baru, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar budaya. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.
Di beberapa daerah di Indonesia, para ustadz bisa saja tak punya jadwal mengisi malam-malam tarawih di masjid. Bisa juga, para pedagang musiman yang hanya ada saat Ramadhan, sangat mungkin tidak berjualan. Masyarakat yang biasanya menikmati ‘kehidupan malam’ Ramadhan, yang memang suasananya berbeda dari bulan yang lain, tidak lagi bisa merasakannya.
Gegar Budaya Tergantung Individunya
Kita semua sangat mungkin mengalami gegar budaya, di mana nilai budaya Ramadhan tahun ini, tidak akan sama dengan nilai budaya Ramadhan yang kita jalani dan miliki sejak lama. Reaksi terhadap gegar budaya, bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda.
Kita nantinya bisa saja bereaksi memusuhi kebiasaan baru. Dapat berupa penolakan atas permintaan tarawih di rumah saja, rindu suasana Ramadhan yang biasanya atau merasa sakit yang tak bisa dijelaskan sebabnya. Tentu saja, semua itu datang atau hadir dengan derajat yang berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi bisa saja ada yang tidak mengalami gegar budaya saat Ramadhan tahun ini tiba, meskipun semua tak lagi sama.
Sebenarnya, sejak Covid-19 melanda dunia dan Indonesia, masyarakat sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam beribadah, sistem jual beli, maupun cara berkumpul. Banyak warung yang tutup atau tutup sebagian dengan hanya menyediakan layanan bungkus bawa pulang (take away). Bagi yang tetap berkumpul (nongkrong), tidak lagi terlalu ramai atau tetap menjaga jarak dan kebersihan, lalu menggunakan masker.
Di Medan misalnya, banyak masjid yang tidak lagi menggelar salat wajib secara berjamaah di dalam masjid tapi memilih menggunakan teras masjid. Ambal sajadah digulung, jamaah diminta membawa sajadah masing-masing. Masuk ke dalam areal masjid disediakan hand sanitizer atau sabun cair agar digunakan sesering mungkin. Kondisi ini tidak pernah terjadi sebelum Covid-19 datang.
Menekan Gegar, Percepat Sesuaikan Diri
Saat Ramadhan tiba, aktivitas masjid biasanya lebih intensif. Mulai subuh hingga dinihari, masjid akan selalu diisi dengan berbagai aktivitas umat seperti salat wajib, salat sunnah, berbuka puasa bersama, tarawih berjamaah, tadarus, hingga iktikaf. Melihat panduan ibadah Ramadhan yang diterbitkan pemerintah di era pandemi Covid-19, mungkin aktivitas masjid tidak akan lagi sama dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Dengan pengalaman yang ada sebelum Ramadhan tiba, tentu saja penulis mendorong umat Islam dapat lebih cepat menyesuaikan diri untuk mengisi Ramadhan era virus corona dengan ibadah-ibadah yang lebih berkualitas. Ada baiknya kita kembali mengulang kaji, tentang keutamaan Ramadhan. Misalnya, selama Ramadhan yang wajib adalah melaksanakan puasa. Salat tarawih adalah sunnah.
Salat sunnah dalam berbagai hadits dan pendapat ulama, tidak harus dilakukan di masjid. Dari Ibnu Umar RA, Nabi Muhammad SAW bersabda “Berikan jatah sebagian salat sunnah kalian di rumah kalian. Dan jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan (HR. Muslim 1856 dan Ahmad 4653).
Meskipun ada kaidah lain tentang pelaksanaan ibadah tarawih ini, dengan situasi sekarang ada baiknya kita mendengarkan imbauan soal tarawih di rumah dari pemerintah maupun Majelis Ulama Indonesia.
Jika pun di lingkungan kita nantinya masih menggelar salat tarawih berjamaah, silakan. Bagi yang harus berjualan panganan khas Ramadhan atau berdagang keperluan Idul Fitri (Lebaran) sebagai mata pencaharian keluarga, bagus. Tapi ada baiknya tetap melaksanakan protokol kesehatan dan kebersihan mencegah penularan virus corona.
Dengan begitu, selain menekan gegar budaya, suasana Ramadhan akan lebih nyaman. Toh, satu bulan terakhir, kita sudah latihan. Walau Ramadhan nanti tak lagi sama, mari sambut dengan fisik yang baik. Juga kesiapan mental, seperti yang Nabi Muhammad SAW anjurkan dan tentu saja dengan keceriaan.(*)
Penulis: Staf Pengajar pada Prodi Ilmu Komunikasi FIS UINSU