oleh: Surya Adi Sahfutra
Polemik ‘self plagiarism’ di USU yang kalau dibaca dari perspektif filosofis ada dua argumen yang bisa dimunculkan untuk membantu menjelaskan duduk perkaranya.
Pertama, apa yg disebut plagiarism secara normatif tidak ada kaitannya dengan self-plagiarism, silahkan dibuka aturan hukumnya.
Kedua, dalam hal proses pembuktian apakah self plagiarism itu sesuatu yg melanggar etika akademik tidak bisa hanya dibaca secara tekstual.
Begini, pikiran seorang akademisi bisa jadi dalam konteks tertentu, misal dalam topik A ia menyuguhkan argumen X tapi pada topik B bisa jadi berbasis argumen X, baik secara normatif maupun substantif. Di sini letak perdebatannya, sehingga menurut saya, wajar kalau dalam aturan hukum dalam pendidikan tinggi di Indonesia, self-plagiarism belum dimasukkan.
Kalau dibaca dalam kacamata etis, tentu apa yg terjadi di USU seharusnya mengedepankan aspek kepatutan dan kehati-hatian, karena cara berpikir akademis itu multi perspektif cum komprehensif. Kita tidak bisa sepenuhnya tunduk pada teknologi sebagai basis keputusan.
Masih ada aspek lain, yaitu konteks yang mengitarinya. Keputusan apapun itu apalagi di dunia akademik harus mengedepankan dua hal sekaligus, tekstual dan kontekstual. Supaya apa yang disebut adil itu ditegakkan.
Hal-hal yang sifatnya konteks penting dilihat, misalnya dalam kasus self plagiarism, ya, bukan plagiarisme. Karena penulisnya sendiri yang bisa menjelaskan konteksnya karena ia memakai karyanya sendiri.
Lazim di Dunia Akademik
Hal yang lazim terjadi dalam dunia akademik hal-hal semacam ini, misal: anda sebagai dosen punya paper/bahan persentasi yang dibuat untuk acara A, tapi dilain waktu anda diminta untuk persentasi dengan topik yang masih beririsan dan anda menggunakan bahan yang sama untuk persentasi. Atau begini dengan naskah yang sama anda bawa ke berbagai forum untuk diseminarkan, diterbitkan dalam versi buku, kemudian artikel jurnal, lalu menjadi artikel koran. Kalau pakai kacamata self-plagiarism yang rigit, maka yang hobi manggung sana-sini bisa jadi sasaran tembak, tinggal siapa yang mau melaporkan siapa.
Kita bisa berdebat panjang soal apakah itu melanggar kode etik profesi akademisi. Tapi self plagiarism atau auto plagiat sebenarnya bisa dilihat dari dari sudut pandang yang lain daripada meributkan soal pelanggaran etika, yakni, ketidakmampuan akademisi membangun novelty dalam disiplin keilmuannya, sehingga ia mereproduksi kembali apa yang ia punya.
Ada yang berkomentar bernada guyon, kalau anda punya karya dalam bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan dalam bahasa asing dan diterbitkan lagi, lalu itu dianggap self plagiarism, maka apa bedanya dengan buku terjemahan (*)
*Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Panca Budi dan Fakultas Ilmu Sosial UINSU, Pegiat Literasi Sumatera Utara