Almarhum YS Rat (kiri) dan Rudi Arman (kanan) semasa hidup. Dua jurnalis senior ini dimakamkan pada Jumat 7 Januari 2022.
Almarhum YS Rat (kiri) dan Rudi Arman (kanan) semasa hidup. Dua jurnalis senior ini dimakamkan pada Jumat 7 Januari 2022.

Oleh: Fakhrur Rozi

KABAR duka datang pada Jumat (7/1/2022). Dua jurnalis senior di Kota Medan, Rudi Arman dan YS Rat (Yusrianto), berpulang ke Rahmatullah. Ucapan duka, kalimat kesan tentang keduanya berjejalan di circle media sosial penulis. Sebagai junior atau tepatnya murid mereka dalam berjurnalistik, penulis harus berterimakasih untuk abang berdua.
Penulis mengenal mereka di masa yang sama, tahun 2006. Saat itu menjadi wartawan muda di Harian Medan Bisnis.

Bang Rudi adalah wartawan Desk Kota Harian Waspada. Ia diplot sebagai wartawan di Poltabes Medan dan jajaran. Sementara Bang YS adalah redaktur di Harian Medan Bisnis. Mungkin kalian berdua tidak saling kenal, tapi penulis merasakan ada kesamaan pada kalian berdua; bicara seperlunya.

Bang Rudi dan 365 Sajam Jalan Aceh, Medan Timur (Jadi Headlines di Harian Waspada pada 2006)

Rudi Arman; pertama kali bertemu medio September 2006. perawakannya tinggi, tegap, sesekali kalau bicara. Sebagai wartawan newbie, penulis ditempatkan redaksi Harian Medan Bisnis di Desk Hukum & Kriminal. Pos paling yang disebut paling ‘kejam dan kelam’ pada sebuah harian ekonomi bisnis. Saat bertemu Bang Rudi, penulis mengenalkan diri sebagai alumni STIK-P. Karena Harian Waspada satu grup/yayasan dengan STIK-P Medan, penulis merasa Bang Rudi pasti membantu penulis yang wartawan baru ini.

Pada satu sore menjelang Maghrib di 2006, minggu pertama penulis diploting sebagai wartawan di Poltabes MS (saat ini namanya Polrestabes Medan), datang info peristiwa perampokan bersenjata tajam/sajam (perampokan dikenal dengan istilah 365 di kalangan wartawan kriminal) di Jalan Aceh, Medan Timur. Sebagai wartawan baru, penulis kelimpungan sejadinya. Sebab hari sudah gelap. Wartawan lain sudah tidak ada di lapangan. Pejabat polisi yang berwenang belum ada yang dikenal dan tak punya nomor ponselnya.

Usai Maghrib, penulis meluncur ke Polsek Medan Timur (sekarang depan Centre Point Mall). Mau tanya siapa? Tak tahu. Coba bertanya ke petugas jaga, tidak dapat info. Kalau pun si petugas ini tahu, tidak mungkin juga dia bicara sama wartawan. Bang Rudi adalah satu-satunya wartawan yang kemudian penulis hubungi untuk mencari informasi soal perampokan itu.

“Belum dapat abang datanya zi,” kata Bang Rudi. Lalu penulis meminta nomor Kapolsek dan Kanit Reskrim Polsek Medan Timur ke Bang Rudi. Setelah dia SMS nomor itu, penulis coba hubungi. Alhamdulillah, tak diangkat. Sampai jam 10 malam, penulis duduk di depan polsek. Kenapa tak ke lokasi perampokan? Jalan Aceh pun tak tahu awak di mana itu. Apalagi saat itu belum ada maps ya gaes.

Redaktur setiap saat nge-press tanya data perampokan itu. “Belum ada, bang. Katanya pun tak ada perampokan itu,” kata penulis mencoba mengeles. Maksud hati biar pulang saja. Sampai jam deadline, memang tak ada data apapun yang diperoleh. Penulis pun pulang ke rumah.

Esok paginya, seperti biasa, ada rapat proyeksi di ruang redaksi. Sampai di ruang redaksi Harian Medan Bisnis (saat itu masih di Jalan KH Zainul Arifin), penulis langsung kena sembur. Seorang redaktur melempar harian Waspada ke meja rapat. “Kau bilang tak ada? Bobol kau sama Waspada,” katanya. Penulis yang masih berstatus calon wartawan (CW) pun melihat headline Waspada pagi itu.

Kira-kira lead beritanya begini: perampokan bersenjata tajam terjadi di Jalan Aceh No 2, Kec Medan Timur. Ada PRT disekap di kamar mandi, dst… Penulis mulai kalut. Semburan redaktur belum berhenti. Syukurnya belum kena maki. Kata ‘bobol’ adalah momok untuk wartawan kala itu. “Kalau gak sanggup kau bilang aja,” kata redaktur itu lagi. Kena bluffing habis-habisan. Mental rontok baru sekian hari jadi wartawan. Pagi itu, penulis ke lapangan untuk liputan dengan ‘sakit dada’ habis kena sembur.

Saat di Mapoltabes penulis bertemu Bang Rudi. Lalu mencoba bertanya soal berita perampokan itu. Menurut Bang Rudi ia pun mendapat data peristiwa itu di saat genting menjelang deadline dan dengan data yang minim. Kenapa Bang Rudi bisa dapat datanya? Tentu saja karena Bang Rudi piawai merawat narasumber dan memahami sumber-sumber informasi di lapangan. Itu kelebihan wartawan senior, apalagi dari media sebesar Harian Waspada.

Setelah peristiwa ini, Bang Rudi adalah salah satu wartawan di Poltabes yang setiap hari penulis kuntit, ikuti gerak-geriknya. Selang beberapa waktu, Bang Rudi mulai enak bicara dengan penulis. “Datang pagi kau ke Poltabes ini, macam polisi-polisi ini juga. Sabtu atau Minggu pun kau cek ke sini,” kata Bang Rudi suatu kali. Ini “ilmu lapangan”, tak ada dalam SKS waktu kuliah. Hasilnya? Dalam waktu 3 bulan, penulis mulai bisa mengikuti ‘irama’ wartawan kriminal walau terseok dan pakai air mata.

Bang YS dan 338 Benazir Bhutto (Jadi Headlines di Harian Medan Bisnis pada 2007).

Benazir terbunuh (pembunuhan dikenal dengan istilah 338 di kalangan wartawan kriminal) pada 27 Desember 2007 dengan ditembak di bagian leher oleh seorang pembunuh yang kemudian juga meledakkan sebuah bom bunuh diri. Pembunuhan ini terjadi ketika ia baru saja meninggalkan Liaquat National Bagh di Rawalpindi dalam rangka kampanye pemilihan umum pada awal tahun 2008. Ia dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal pada hari itu juga.

Peristiwa ini menjadi berita utama media di seluruh dunia. Termasuk juga Harian Medan Bisnis. Saat itu seingat penulis, Bang YS Rat adalah pemegang halaman 1. Peristiwa ini mendapatkan judul berita yang beragam. “Benazir Tewas Usai Kampanye, Konvoi Benazir Dibom, Benazir Tewas Dibom Bunuh Diri, Bom Bunuh Diri Benazir Tewas dll.”

Hari itu judul headline Harian Medan Bisnis sangat berbeda, bagi penulis. “Benazir Dibunuh”. Hanya dua kata. Tapi bagi penulis, judul ini sangat berkesan. Singkat, padat, tepat, jelas dan menggiring pembaca untuk membaca isi berita itu. Tidak ada clickbait-clickbait saat itu. Dari seorang kawan kantor kala itu, penulis memastikan siapa yang pegang halaman 1 edisi hari itu. “Bang YS Rat,” kata kawan itu. Oke. Jurnalis yang seniman is on the floor.

Secara pribadi, penulis memang tidak begitu akrab dengan Bang YS Rat. Selain beliau cenderung bicara seperlunya, saat bekerja di Medan Bisnis, ruangan kami berbeda lantai. Kemudian beliau juga tidak pernah menjadi redaktur halaman Hukum dan Kriminal. Pada Mei 2008, penulis resign dari Harian Medan Bisnis, tapi jika bertemu dan mengingat Bang YS, penulis tak bisa melepaskan memori tentang kematian Benazir Bhutto, sampai hari ini.

Kepulangan Bang Rudi dan Bang YS di penghulu hari (Jumat), kiranya menjawab rekam jejak abang berdua semasa hidup bersama kami, yang juga menunggu ‘hari itu’ untuk datang. Al Fatihah.(*)

*) penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UIN Sumatera Utara, Pengurus PWI Sumut