Oleh: Fakhrur Rozi
FENOMENA prank polisi ala Baim Wong – Paula dan drama KDRT Lesti – Rizky Billar (Leslar), semestinya mampu menyadarkan bahwa media sosial adalah mesin produksi yang manipulatif dan ekploitatif terhadap budaya manusia sekaligus tantangan baru bagi kita sebagai bagian masyarakat digital. Perhatian publik yang tinggi pada dua peristiwa ini menunjukkan selain beririsan dengan hubungan parasosial, media sosial sebagai medium juga tak lepas dari lingkaran ekonomi politik media.
Baim Wong bersama isterinya Paula Verhoeven, membuat konten Youtube dengan tema prank di kantor polisi. Ia diadukan isterinya yang mengaku mengalami KDRT. Pada akhir video, diketahui pelaporan KDRT itu adalah palsu alias untuk konten Youtube belaka. Karena hal ini, Baim Wong dan isterinya terpaksa berurusan dengan polisi.
Kemudian kasus KDRT yang dialami penyanyi dangdut, Lesti oleh suaminya RIzky Billar. Setelah berhari-hari memenuhi linimasa berbagai platform media online dan media sosial, dugaan tindak pidana ini menjadi ‘anti-klimaks’ setelah Lesti mencabut laporan dan meminta suaminya dibebaskan dari tahanan polisi. Bahkan belakangan, keduanya meminta maaf pada masyarakat.
Perihal Konten dan Hadiah Viewers
Baim Wong mungkin berharap dengan konten prank itu, konten yang ia buat akan mendapatkan viewers. Setelah 14 jam diunggah, video itu ditonton 391 ribu di Youtube. Tapi kemudian mendapat respon negatif lalu dihapus (take down). Kasus KDRT Lesti – Rizky Billar (Leslar), mendapatkan perhatian besar dari media massa. Pemberitaan masalah rumah tangga ini mengisi semua platform media massa mulai dari yang tradisional hingga akun-akun media sosialnya. Masalah suami isteri ini juga menjadi konten berbagai akun media sosial mulai dari Youtube, Tiktok, Instagram dan lainnya. Potongan video CCTV Rizky Billar gagal melempar Lesti dengan bola biliar, yang entah dari mana suplainya, viral ke mana-mana. Peristiwa ini menurut hemat penulis, semakin menambah portofolio Leslar sebagai komoditas media massa dalam konteks komodifikasi privasi.
Penulis mencoba merunut Leslar sebagai komoditas, mulai dari kemunculan keduanya di media massa. Kemudian keduanya dijodoh-jodohkan media massa atas klaim desakan netizen. Sampai-sampai pertunangan keduanya disiarkan secara langsung salah satu televisi swasta pada Juni 2021. Padahal saat itu, Lesti sudah hamil anak Rizky Billar, karena ternyata keduanya sudah menikah siri pada awal tahun 2021. Meski sudah menikah, acara televisi itu tetap berjudul lamaran Leslar.
Lalu pada Agustus 2021, acara pernikahannya pun juga disiarkan secara langsung oleh salah satu televisi swasta. Masuk akal kalau kemudian, saat rumah tangga keduanya ribut, media massa juga menganggap itu tayangan yang punya magnet untuk ditonton. Dibuatlah cerita-cerita Leslar, seperti yang kita tahu bersama.
Hubungan Parasosial dan Ekonomi Politik Media
Kedua peristiwa di atas, menurut penulis dapat diamati dengan menyitir istilah hubungan parasosial serta ekonomi politik media. Istilah hubungan parasosial muncul dalam berbagai artikel yang menyoroti relasi penggemar dengan idolanya. Baim Wong – Paula Verhoeven dan Lesti – Rizky Billar, adalah pasangan selebritas yang punya basis penggemar. Ini bisa dilihat dari kedua pasangan suami isteri ini yang juga membangun channel Youtube, Instagram, Tiktok berisi konten kehidapan sehari-hari atau lainnya sebagai sumber pendapatan. Baim Wong – Paula berkibar dengan nama channel Baim Paula. Sementara Lesti – Rizky Billar dengan nama Leslar Entertainment.
Lewat medium ini, mereka membantu terjadinya hubungan parasosial antara mereka dengan penggemarnya. Kemudian, hubungan parasosial ini ‘berbalik’ arah. Para selebritas ini kemudian merasa mereka paling paham apa yang diinginkan penonton mereka dia media sosial. Mereka menilai, bahwa konten A atau konten B, akan disenangi oleh subscriber mereka di Youtube. Misalnya, Baim Wong yang mengatakan bahwa konten prank polisi soal pelaporan KDRT itu adalah untuk mengedukasi.
Pada Lesti – Billar pun serupa, meski tak sama. Pasangan yang akrab dengan sebutan Leslar ini juga berselancar dengan kata kunci ‘KDRT’ sama seperti Baim Paula. Pasca kasus KDRT Leslar mencuat, bila kita gunakan kata kunci KDRT di Youtube, ramai konten dengan tema KDRT. Mulai dari Thalita Latief, yang pernah mengalami KDRT. Hingga Mamah Dedeh yang berdakwah untuk tidak diam saja soal KDRT. Belakangan kita tahu Lesti memaafkan suaminya. Lalu netizen ikut terbelah. Ada yang setuju perdamaian, tapi banyak juga yang kesal menurut pemberitaan juga.
Belakangan, aroma ekonomi politik media menyeruak dalam peristiwa ini. Pertama, Rizky Billar dipecat salah satu televisi swasta dari acara di mana Rizky Billar terlibat sebagai host. Kedua, media memainkan isu boikot Lesti dan Rizky Billar dari televisi via Komisi Penyiaran Indonesia setelah Lesti memaafkan Billar. Ketiga, ada narasi media massa yang menyebut Leslar kehilangan pendapatan dari sejumlah brand yang kabarnya memutuskan kontrak pasca peristiwa ini. Adapun tiga isu ini juga mendapatkan viewers yang tinggi dari publik. Sangat mungkin karena hubungan parasosial tadi. Di samping, isu berbau konflik salah satu aspek nilai berita.
‘Mengemis’ Virtual Pengungsi Suriah
Liputan investigasi yang baru-baru ini dirilis BBC tentang aktivitas ‘mengemis’ virtual lewat aplikasi Tiktok, yang dilakukan sejumlah pengungsi Suriah. Kasus pengungsi Suriah yang ‘mengemis’ secara virtual, menurut BBC menjadi fenomena yang berlangsung sejak awal 2022. Hasil penelusuran mereka, ada keluarga-keluarga pengungsi Suriah melakukan siaran langsung di Tiktok dengan anak-anak mereka dan meminta penonton untuk memberikan hadiah (gift) dengan nilai yang beragam.
Siaran langsung ini dibantu oleh seseorang yang menyediakan ponsel, jaringan internet dan mengelola akunnya. BBC juga menemukan bahwa banyak yang menghasilkan lebih dari US$1.000 (Rp15,3 juta) per jam dalam bentuk hadiah, tetapi keluarga-keluarga pengungsi mengaku hanya menerima sebagian kecil dari uang sumbangan.
Dari pengujian yang dilakukan, BBC menemukan Tiktok mengambil 69% uang sumbangan. BBC mempertanyakan ini, dan Tiktok memberikan pernyataan. “Kami sangat prihatin dengan informasi dan tuduhan yang disampaikan kepada kami oleh BBC, dan telah mengambil tindakan cepat dan tegas. Jenis konten ini tidak diizinkan di platform kami, dan kami semakin memperkuat kebijakan global kami seputar mengemis yang dieksploitasi”.
Para pengungsi Suriah yang digiring secara sadar untuk melakukan siaran langsung di Tiktok itu mendapat viewers yang kemudian karena ibanya, sebagian viewers itu mengirimkan gift sebagai hadiah yang dapat ditukar bernilai uang. Uang itu kemudian dimaksudkan untuk digunakan memenuhi kebutuhan mereka di pengungsian. Tapi kemudian bantuan yang diberikan viewers itu ‘dipotong atas’ oleh platform. Pembuat konten tak berkutik. Medium yang digunakan punya kebijakan yang sejak awal akun dibuat, sudah mendapat persetujuan pemilik akun. Kontennya sudah senyawa dengan platform.
Baim – Paula dan Leslar pun serupa. Mereka tak kuasa menolak untuk memenuhi platform media sosial dengan aktivitas mereka kepada netizen. Tentu saja ada hadiah viewers dan hal ikutan lainnya untuk mereka. Setelah kejadian ini, Baim Wong khawatir tidak ada yang mau kolaborasi dengannya. Leslar pun dihantui pemutusan kontrak kerja dengan sejumlah produk. Akhirnya kita harus mengangguk pada pernyataan Jaron Lanier, penulis buku ‘Ten Arguments For Deleting Your Social Media Accounts Right Now’ dalam film dokumenter Social Dilemma (2020) yang menyebut dengan perkembangan media sosial saat ini, kita menciptakan seluruh generasi global yang dibesarkan dalam konteks bahwa makna sebenarnya dari komunikasi dan budaya adalah manipulasi.
Akhirnya, sebagai bagian masyarakat digital, penulis menilai perlu kita semua perlu mengarahkan perhatian pada realitas lainnya di dunia maya bahwa tantangan dalam literasi digital semakin kompleks. Semisal, memastikan tidak ada konten sembarang yang dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan semata di lini masa kita atau membangun kesadaran agar platform digital agar tidak selalu memanipulasi kita. (*)
*)penulis adalah Ketua Seksi Media Siber, Fotografi dan Multimedia PWI Sumatera Utara, Dosen UINSU Medan