Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas
Azra Ramidah
MEDAN, kaldera.id – Belakangan ini etika profesi akuntan menjadi diskusi berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat bisnis. Menyadari hal demikian, etika menjadi kebutuhan penting bagi semua profesi. Di Indonesia, pendidikan selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik dan kecerdasan otak saja. Pengajaran integritas, kejujuran, komitmen, dan keadillan seringkali diabaikan, sehingga terjadilah krisis multi dimensi seperti krisis ekonomi, krisis moral, dan krisis kepercayaan.
Pada sektor akuntansi yang menunjukan perkembangan, bukan hanya memberikan sesuatu pengaruh yang postif pada masyarakat, tetapi juga memberi pengaruh negatif salah satunya masalah kecurangan. Kecurangan yaitu tindakan yang disengaja dari seseorang atau kelompok yang berdampak pada laporan keuangan dan dapat menyebabkan kerugian bagi entitas atau pihak-pihak lainya dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan. Adapun Association of Certified Fraud Examinations (ACFE Indonesia Chapter, 2018) dalam (Tampubolon dkk, 2020) menyatakan bahwa kecurangan akuntansi dikategorikan menjadi 3 bagian utama yaitu yaitu kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud), penyalahgunaan aset (asset misappropiation) dan korupsi (corruption).
Salah satu bentuk kecurangan yang marak terjadi di Indonesia yaitu korupsi. Transparency International (TI) tiap sekali setahun mengeluarkan Corruption Perception Index (CPI), ialah sesuatu berupa hasil pengukuran tingkat korupsi global. Untuk tahun 2021, hasil dari CPI Indonesia yaitu 38 dan posisinya berada pada posisi 83 dari 180 negara. Interval indeks CPI ialah 0-100 (0 berarti tingkatan tinggi korupsi, 100 tingkatan rendah korupsi). Skor 38 tersebut menggambarkan bahwa korupsi di Indonesia dikategorikan masih tinggi. Praktik kecurangan akuntansi tidak hanya terjadi pada sektor swasta, tetapi juga banyak terjadi pada sektor pemerintahan. Menurut (Anastasia, 2014) hal yang sering terjadi, pihak atasan melakukan kecurangan untuk kepentingan perusahaan, yaitu salah penataraan yang timbul karena kecurangan pelaporan keuangan, sedangkan bawahan melakukan kecurangan bertujuan untuk keuntungan masing-masing, misalnya salah penataraan yang berupa penyalahgunaan aktiva.
Konsekuensi dari kecurangan
Konsekuensi dari kecurangan akuntansi untuk perusahaan dan negara tidak mungkin ditepis. Akibatnya, perusahaan menderita kerugian besar. Kecurangan akuntansi sering timbul oleh keinginan karyawan perusahaan untuk mengambil keuntungan dari kepentingan mereka. Selain itu, ada kecurangan yang diterapkan oleh perusahaan itu sendiri, seperti mengubah laporan keuangan perusahaan untuk menunjukkan laba maksimal ketika perusahaan benar-benar merugi. Ini karena investor menganggap perusahaan itu bagus. Lain dari hal tersebeut, perusahaan juga ingin mengurangi pandangam di mata calon investor bahwa perusahaannya beresiko.
Banyak faktor yang menjadi kecenderungan kecurangan akuntansi diantaranya bisa disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal, dan faktor individu. (Chandrayatna dan Ratna Sari, 2019) berpendapat pengendalian internal merupakan sebuah rencana suatu organisasi, semua metode dan aturan yang sudah terkoordinasi serta diadopsi oleh lembaga pemerintah untuk melindungi hak propertinya, meningkatkan efisiensi bisnis, dan menyadari keakuratan dan keandalan data akuntansi yang ada. Sedangkan faktor dari dalam individu, yaitu moralitas individu. Moral merupakan hal yang sesuai dengan keyakinan umum yang diterima masyarakat, berkaitan dengan penilaian norma tindakan manusia. Orang dengan penalaran moral rendah berperilaku berbeda ketika dihadapkan dengan masalah daripada orang dengan penalaran moral yang tinggi. Semakin tinggi penalaran moral, semakin besar kemungkinan dia akan melakukan hal yang benar.
Penyebab fraud
Menurut Bologna (1993) dalam (Dewi, 2017) penyebab fraud atau kecurangan dijelaskan dengan GONE Theory, terdiri dari beberapa faktor yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang yaitu Greed, Opportunity, Need dan Exposure. Opportunity (kesempatan) dan Exposure (pengungkapan) berhubungan dengan kelompok disebut juga faktor umum seperti substansi pengendalian internal. Faktor lainnya, Greed (keserakahan) dan Need (kebutuhan) merupakan faktor yang berhubungan dengan individu yang melakukan kecurangan (disebut dengan faktor individual). Faktor individual ialah perilaku yang melekat dari individu itu sendiri, dalam konteksnya faktor individu ini berhubungan dengan moralitas.
Pengendalian internal yang efektif diperlukan untuk mencapai hasil yang baik. Pengendalian intern berperan terhadap organisasi untuk meminimalisir terjadinya fraud. Serta moralitas individu juga dapat mempengaruhi kecenderungan untuk melakukan kecurangan akuntansi. Diasumsikan bahwa moral buruk individu akan memotivasi individu-individu ini untuk terlibat dalam perilaku akuntansi yang curang. Untuk menerima output yangg baik, dibutuhkan pengendalian internal yang efektif. Pengendalian intern berkontribusi pada organisasi perihal meminimalisir terjadinya fraud. Serta moralitas individu jua bisa mengarahkan kecurangan akuntansi. Rendahnya moral individu dapat meninggikan kemungkinan kecurangan akuntansi.
Tulisan ini memberikan penjelasan mengenai peran etika moralitas individu dan pengendalian internal untuk pencegahan atau mengurangi terjadinya tindak kecurangan (fraud). Seorang akuntan diharapan tidak melakukan praktik kecurangan akuntansi dalam organisasi/perusahaan, hal tersebut bisa dicegah apabila melalui pengendalian internal, penegakan hukum, dan melaksanakan good governance, tetapi jika moral tidak berubah dan sikap komitmen yang tinggi terhadap segala bentuk praktik kecurangan tidak terlaksana, maka semua langkah yang ditempuh tidak akan berguna. Selanjutnya semua organisasi yang mempunyai tugas melakukan penegakan etika profesi akuntan harus terus berusaha menciptakan suatu terobosan baru dalam upaya penegakan etika agar sesuai dengan tuntutan masyarakat bisnis.