Ads

Mangu: Budaya Pop Digital dan Wacana Keberagamaan

redaksi
3 Jun 2025 23:45
5 menit membaca

Oleh: Fakhrur Rozi

LAGU “Mangu” dari Fourtwnty menunjukkan fenomena menarik dalam dinamika penyebaran musik di era digital. Ia dirilis tiga tahun lalu, tapi lagu ini baru ‘meledak’ sekarang.  Bisa jadi ini karena ulah karena algoritma platform digital, media sosial, dan tentu saja serta kekuatan masyarakat daring sebagai user.

Dari penelusuran penulis, pada 16 Mei 2025, “Mangu” berhasil menempati posisi ke-10 dalam tangga lagu Top 50 Spotify Global dengan total pemutaran mencapai lebih 108 juta kali. Ini capaian tertinggi musisi asal Indonesia di platform itu. Selain kekuatan lirik, nuansa musik sendu, dan resonansi emosional yang tinggi turut memperkuat daya tarik lagu ini. Perpaduan antara konten yang kuat dan mekanisme penyebaran digital yang cepat membuat “Mangu” tidak hanya populer, tapi juga menjadi bagian dari budaya populer digital kekinian.

Dirilis pada 2021, “Mangu” tiba-tiba mencuat ke permukaan, menembus batas maya dan menyusup ke ruang-ruang publik seperti kafe, pusat perbelanjaan, tempat nongkrong, hingga radio. Ketika lagu ini sering didengar maka lagu itu menjadi akrab, bahkan sebelum seseorang menyadari judul atau penyanyinya. Dalam perspektif Ilmu Komunikasi, ini bisa disebut sebagai “domestikasi media” yaitu proses bagaimana media (dalam hal ini lagu) menjadi bagian dari keseharian publik.

Salah satu faktor paling menentukan dalam trendingnya lagu “Mangu” adalah media sosial, khususnya TikTok. Di platform ini, musik bukan hanya sekadar latar, melainkan bagian utama dari identitas konten. TikTok menggunakan algoritma yang sangat responsif terhadap engagement. Ketika beberapa pengguna mulai memakai “Mangu” dalam konten yang viral, sistem teknis TikTok akan merekomendasikan lagu ini ke pengguna lain.

Dalam konteks lirik, lagu “Mangu” terang menggambarkan kisah cinta beda keyakinan (baca: agama). Lagu “Mangu”, menampilkan satu keyakinan dengan frasa “kau menggenggam” dan keyakinan lainnya dengan kata “ku menadahnya”. Kemudian perbedaan itu dipertegas lagi dengan lirik “tak lagi sama cara berdoa” dan “tak lagi sama arah kiblatnya”. Di Indonesia, perbedaan keyakinan memang salah satu ‘diskursus yang hangat’ saat diletakkan ke dalam relasi pernikahan.

Kisah Nyata: Human Interest

Pada sebuah wawancara dengan Soleh Solihun di Channel Youtube @Authenticity ID, Ari Lesmana, vokalis Fourtwnty, menyatakan bahwa lagu “Mangu” merupakan kisah nyata dari sahabatnya. “Lagu ini (Mangu) cerita tentang sepasang suami-isteri yang di tengah perjalanan, isterinya convert ke agama lain. Dan mereka menikah sudah lama, belum punya baby. Terus setelah mereka berdamai dengan dirinya masing-masing. Dengan agamanya masing-masing. Kiblatnya sudah berbeda gitu, eh malah dapat momongan,” kata Ari.

Kisah nyata itu selalu relate karena ia berkaitan dengan manusia. Karena itu, setiap manusia akan sangat tertarik dengan cerita berkarakter human interest seperti kisah nyata “Mangu”. Rasanya, kisah nyata ini diceritakan itu oleh sahabat itu dengan tangis-raungan. Menurut penulis, melodi dalam lagu “Mangu” pun terpola dari tangis dan raungan ini. Sebab, tangisan sebagai luapan emosi, memang memiliki unsur nada alami; naik-turun suara, intensitas, dan vibrasi. Fourtwnty, sebagai kumpulan musisi, bisa saja menangkap pola itu dan mengubahnya menjadi melodi yang menyayat seperti pada bagian “bridge” dan “outro” lagu “Mangu” yang tersebar secara digital.

Saat konten digital masuk ke ruang sosial, maka ia tidak lagi hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai pembentuk suasana, pemicu emosi kolektif, bahkan identitas kelompok. Ini sangat tergambar dalam video klip “Mangu versi Official Lyric Visualizer” di Youtube (dalam 2 minggu, 5,3 juta views). Ada potongan adegan pria gondrong bertato, tampak mengeluarkan air mata ketika ikut menyanyikan lagu ini dalam sebuah konser Fourtwnty.

Musik seperti kenangan dan emosi, tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali mengalun seperti “Mangu” yang hari-hari ini bukan saja diputar, tapi diresapi, dan dihidupkan kembali oleh telinga pendengarnya.

Wacana Teks & Keberagamaan

Rasanya, keberhasilan “Mangu” selain dari kekuatan lirik adalah nuansa musiknya yang emosional. Notasi, yang menyiratkan kepedihan dibalik bunyi. Mungkin, melodi “Mangu” yang membuat pendengar seperti penulis menjadi ikut ‘merasakan’ lagu tersebut. Penulis sendiri, tidak begitu relate dengan lirik lagu ini. Entahlah dengan banyak orang di luar sana.

Dalam kaidah wacana, sebuah teks sebagai pesan komunikasi, memiliki kemampuan untuk menghegemoni plus meneguhkan sebuah ideologi. ‘Mangu’sebagai teks menurut penulis, cukup memenuhi syarat sebagai alat hegemoni dan penanaman ideologi. Penulis tertarik menawarkan aspek wacana keberagamaan dari viralnya “Mangu”. Sebelumnya, pemilik lagu mengakui lagu itu diciptakan dari kisah nyata cinta beda agama yang tetap berjalan dengan konsekuensi yang harus diterima oleh pihak-pihak yang menjalankannya.

Keberagamaan merujuk pada sifat atau keadaan seseorang yang beragama, meliputi pemahaman, semangat, dan tingkat kepatuhan dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, serta perilaku hidup sehari-hari setelah menjadi penganut suatu agama. Memilih untuk berdiri dengan keyakinan bahwa dalam sebuah pernikahan, mestilah antara lelaki dan perempuan dengan satu keyakinan yang sama adalah kepatuhan. Sebab, ajaran Islam, yang digariskan Allah SWT dan dicontohkan Rasulullah SAW, jelas dan tegas mengenai hal ini.

UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat (1) tegas menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya, hukum pernikahan sah jika mengikuti aturan agama atau kepercayaan masing-masing pasangan. Ya, kita semua termasuk penulis boleh ‘termangu-mangu’ dengan viralitas lagu ini. Tapi mesti dipahamkan juga ke dalam hati bahwa kita harus tahu, harus mau tahu, pernikahan bukan soal hati saja tapi juga soal yang diyakini.(*)

*)Penulis adalah Dosen UINSU; Peminat Kajian Komunikasi Digital