Pertambangan Eksis, Bagaimana Perlindungan Orangutan dan Flora Langka di Batang Toru?

redaksi
13 Nov 2025 18:45
Opini 0 2
4 menit membaca

Oleh: Rosa Mardliyah Padena

DI Sumatera Utara, membentang hutan tropis Batang Toru. Hutan ini bukan sekadar barisan pohon, melainkan benteng alami yang menjaga keseimbangan air, udara, dan kehidupan. Keseimbangan ekosistem menjadi tantangan setelah adanya pembukaan lahan untuk pertambangan di hutan Batang Toru.

Batang Toru menyimpan kisah tentang keajaiban alam dan ironi manusia. Di kawasan inilah hidup orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies yang baru diidentifikasi pada 2017 dan dinobatkan sebagai primata paling langka di dunia, dengan populasi kurang dari 800 individu (Wich et al., 2016). Hutan yang dulu rimbun kini terfragmentasi, memutus jalur jelajah dan sumber makanan alami. Disebutkan pada Mongabay Indonesia, tanggal 4 Maret 2025, bahwa ekspansi tambang di Ekosistem Batang Toru mengancam habitat spesies langka Orangutan Tapanuli.

Orangutan menjadi kehilangan tempat berlindung, dan dalam banyak kasus, mereka dipaksa turun ke kebun dan permukiman warga tanda bahwa habitatnya semakin sempit.

Tak hanya fauna, flora langka seperti Shorea teysmanniana dan Dipterocarpus hasseltii juga terancam punah. Kedua jenis pohon ini berperan penting dalam menjaga struktur tanah dan menyimpan cadangan air bawah tanah. Namun, pembukaan lahan tambang membuat lapisan humus hilang, tanah mengeras, dan mikroorganisme penyubur tanah mati.

Saat pepohonan tak mampu tumbuh kembali, rantai ekologi ikut runtuh. Hilangnya satu jenis pohon bisa menghapus belasan jenis serangga, burung, dan jamur yang bergantung padanya.

Dampak dari proses pembukaan lahan tambang juga sangat serius. Hutan yang gundul mempercepat erosi dan meningkatkan risiko banjir serta longsor. Sedimentasi di sungai Batang Toru menurunkan kualitas air dan membunuh biota sungai.

Paling mengkhawatirkan adalah limbah logam berat dari proses pengolahan tambang. Limbah dapat meresap ke tanah dan mengalir ke sungai tanpa pengolahan yang memadai. Logam berat ini bersifat toksik dan menumpuk di jaringan organisme (bioakumulasi). Ikan-ikan yang hidup di Sungai Batang Toru dapat mengandung merkuri, dan bila dikonsumsi manusia, akan berbahaya.

Tanaman di sekitar tambang pun menyerap logam berat ini, menurunkan produktivitas pertanian dan menimbulkan mutasi genetik pada tumbuhan liar. Hewan yang memakan tumbuhan tersebut akhirnya ikut terpapar racun. Lambat laun, rantai kehidupan di Batang Toru berubah menjadi rantai kontaminasi.

Ya, harapan belum benar-benar hilang. Upaya penyelamatan dapat dimulai dengan pengelolaan pertambangan yang lebih berwawasan lingkungan, penerapan teknologi ramah lingkungan, serta pengawasan ketat terhadap pembuangan limbah. Pemerintah harus memperkuat kebijakan konservasi dan memastikan perusahaan tambang melakukan restorasi ekosistem pascatambang.

Pemerintah harus memperketat izin dan pengawasan AMDAL hingga memastikan pembuangan limbah tidak mencemari tanah dan sungai. Penetapan zona konservasi dan koridor satwa juga diperlukan agar habitat orangutan Tapanuli dan satwa lain tetap terlindungi.
Reboisasi dengan spesies lokal seperti Shorea, Meranti, dan Dipterocarpus harus diprioritaskan agar ekosistem dapat pulih alami. Pembentukan koridor satwa liar juga menjadi keharusan agar orangutan Tapanuli dan satwa lain tetap memiliki ruang bergerak dan berkembang biak. Selain itu, pelibatan masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap hutan dan menekan praktik perambahan liar.

Sebagai seorang mahasiswa magister biologi terkhusus dalam bidang mikrobiologi, penulis percaya ilmu pengetahuan dapat menjadi solusi yang nyata bagi krisis lingkungan ini. Salah satu pendekatan ilmiah yang dapat diterapkan adalah bioremediasi dan biodegradasi, yaitu pemanfaatan mikroorganisme seperti Pseudomonas putida dan Bacillus subtilis untuk menetralisir logam berat di tanah dan air. Mikroba mampu memecah atau mengikat senyawa beracun menjadi bentuk yang lebih aman bagi lingkungan.

Penggunaan mikroba lokal dari kawasan Batang Toru akan membuat proses pemulihan lebih efisien dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, pendidikan lingkungan berbasis sains perlu diperkuat di sekolah dan masyarakat sekitar tambang. Kesadaran ekologis tidak bisa hanya datang dari regulasi, tetapi juga dari pemahaman dan empati terhadap alam. Akademisi, pemerintah, dan masyarakat harus berjalan beriringan bukan sekadar membicarakan kerusakan, tetapi turut memperbaiki dan mencegahnya.

Hutan bukan hanya sumber daya, melainkan sumber kehidupan. Setiap pohon yang ditebang tanpa perhitungan, setiap sungai yang tercemar, adalah ancaman bagi kita sendiri. Batang Toru bukan milik satu daerah atau generasi, melainkan warisan dunia yang harus dijaga bersama. Kini saatnya kita mendengar kembali suara alam dari Batang Toru sebelum gema terakhirnya benar-benar menghilang.(*)

*)Penulis adalah Mahasiwa Magister Biologi Universitas Sumatera Utara