Transisi Energi, Ekoteologi dan Peluang PSEL Medan Raya

redaksi
22 Des 2025 11:24
News Opini 0 1
5 menit membaca

oleh: Fakhrur Rozi

ENERGI Baru Terbarukan (EBT) menjadi salah satu konsep penting dalam peradaban manusia saat ini. Usia bumi yang semakin tua karena terus diekspoloitasi untuk menghasilkan energi, yang kerap sebagai dianggap komoditas,semakin disadari perlu mendapatkan cara baru dalam mengelolanya sebagai sumber kemaslahatan umat manusia itu sendiri.

Salah satu EBT yang dapat ditawarkan dan sederhana, adalah biogas. Dianya dapat diperoleh dari pengelolaan sampah yang dikenal dengan proses waste to energy (WTE). Energi dari sampah dapat dihasilkan melalui proses WTE dengan berbagai teknologi, seperti pembakaran (insinerasi) untuk menghasilkan uap dan listrik, gasifikasi untuk mengubah sampah menjadi gas sintetik, atau konversi fisik menjadi bahan bakar padat seperti Refuse Derived Fuel (RDF).

Biogas sendiri termasuk dalam kategori bioenergi sebagai energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik. Bioenergi berasal dari pengolahan biomassa, yaitu material yang dihasilkan oleh makhluk hidup. Adapun contoh bahan baku bioenergi yang biasa digunakan adalah kelapa sawit, kotoran ternak, jarak pagar, ubi kayu, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, beberapa bioenergi itu sudah digunakan untuk pembangkit listrik meski masih dalam bentuk skala kecil.

Dalam perspektif Islam, gagasan tentang energi terbarukan seperti biogas bukanlah sesuatu yang asing. Islam sejak awal telah menanamkan prinsip bahwa alam adalah amanah (amanah) yang harus dijaga. Manusia diberi mandat sebagai khalifah fil ardh (pemelihara bumi) bukan sebagai penguasa yang bebas mengeksploitasi tanpa batas.

Konsep waste to energy sejalan dengan semangat Islam yang menekankan tidak adanya sesuatu yang diciptakan sia-sia. Sampah yang selama ini dianggap kotor dan tak berguna, justru dapat menjadi sumber kemanfaatan jika dikelola dengan benar. Ini mencerminkan ajaran untuk tidak berlebih-lebihan dan pemborosan (israf). Mengubah sampah menjadi biogas berarti menghindari pemborosan sekaligus memaksimalkan kebermanfaatan setiap ciptaan Allah. Lebih jauh, penggunaan energi terbarukan juga selaras dengan prinsip maslahah yakni menghadirkan kebaikan serta mencegah kerusakan.

Pemanfaatan biogas mengurangi ketergantungan pada energi fosil, menekan emisi, dan memperbaiki kualitas lingkungan. Ini merupakan bentuk nyata dari upaya manusia menjaga keseimbangan alam, sebagaimana disebut dalam QS. Ar-Rum ayat 41 tentang peringatan agar manusia tidak merusak bumi dengan tangan mereka sendiri. Selain itu, teknologi seperti biogas mendorong keadilan ekologis. Energi yang bersih dan murah memungkinkan masyarakat kecil, terutama di pedesaan, mendapatkan akses energi yang layak. Inilah implementasi nilai ‘adl (keadilan) dalam konteks kekinian, bahwa energi bukan hanya untuk golongan tertentu, tetapi hak seluruh umat manusia.

Biogas dan berbagai bentuk energi terbarukan menjadi potensi transisi energi umat manusia sekaligus wujud penghayatan nilai-nilai spiritual. Ketika manusia menjaga alam, sesungguhnya mereka sedang menjaga diri mereka sendiri. Teknologi menjadi sarana untuk menjalankan amanah Allah SWT yakni merawat bumi, memanfaatkan ciptaan-Nya sebijaksana mungkin, dan mewariskan lingkungan yang layak bagi generasi berikutnya.

Ekoteologi: PSEL Medan dan Fiqh Transisi Energi

Dalam konteks kebijakan publik, narasi PSEL Medan Raya juga relevan dibaca melalui kerangka ekoteologi yang dikembangkan Kementerian (Kemenag) Agama Republik Indonesia. Ekoteologi menegaskan bahwa relasi manusia dengan alam tidak bisa dilepaskan dari dimensi ketuhanan. Alam dipahami sebagai ayat tanda-tanda kebesaran Tuhan yang mengandung pesan moral. Karena itu, pengelolaan lingkungan, termasuk energi dan sampah, bukan sekadar urusan teknis atau ekonomi, melainkan bagian dari tanggung jawab spiritual manusia sebagai pemegang amanah di bumi.

Ekoteologi Kemenag menolak paradigma pembangunan yang eksploitatif dan mendorong etika keberlanjutan berbasis nilai keseimbangan, keadilan, dan tanggung jawab lintas generasi. Dalam kerangka ini, PSEL dapat dipahami sebagai upaya konkret menghadirkan pembangunan yang bermoral, selama dijalankan secara transparan, partisipatif, dan berorientasi pada perlindungan lingkungan serta keselamatan masyarakat. Dengan demikian, PSEL tidak hanya berkontribusi pada transisi energi, tetapi juga menjadi praktik nyata pengamalan ajaran agama dalam ruang publik modern.

Proyek Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Medan Raya yang direncanakan mulai 2026 menandai babak baru pengelolaan sampah dan energi di Sumatra Utara. Dengan timbunan sampah lebih dari 2.500 ton per hari dari Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, PSEL tidak hanya menjawab persoalan teknis perkotaan, tetapi juga menguji arah etika pembangunan energi kita.

Dari sisi kekuatan, PSEL memiliki legitimasi kuat sebagai Program Strategis Nasional dan didukung pemerintah pusat hingga daerah. Ketersediaan sampah sebagai bahan baku menjadikannya solusi ganda: mengurangi beban TPA sekaligus menambah pasokan energi terbarukan. Dalam perspektif Fiqh Transisi Energi Berkeadilan Muhammadiyah, langkah ini sejalan dengan prinsip amanah dan khalifah fil ardh, bahwa manusia berkewajiban mengelola sumber daya secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

PSEL terletak pada minimnya literasi publik tentang teknologi waste to energy. Di tengah masyarakat, proyek ini rentan disalahpahami sebagai ancaman lingkungan. Di sinilah etika Islam menuntut tabayyun dan keterbukaan: pembangunan energi tidak boleh berjalan elitis, tetapi harus komunikatif dan partisipatif. Dari sisi peluang, PSEL membuka jalan menuju transisi energi yang lebih adil. Energi dari sampah berpotensi memperkuat bauran EBT, menciptakan lapangan kerja, serta memastikan manfaat energi dirasakan luas oleh masyarakat. Gagasan ini selaras dengan prinsip maslahah dan keadilan ekologis dalam fiqh energi Muhammadiyah—bahwa energi bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan hak publik yang harus dikelola demi kesejahteraan bersama dan generasi mendatang.

Harus diakui, program yang ini tidak akan mudah. Ancaman bisa datang dari potensi resistensi sosial dan risiko lingkungan jika tata kelola tidak beretika. Al-Qur’an telah mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut bersumber dari ulah manusia sendiri. Karena itu, PSEL menuntut standar pengelolaan yang ketat, transparan, dan berpihak pada keselamatan lingkungan serta masyarakat sekitar. PSEL Medan Raya bukan sekadar proyek listrik dari sampah. Dia jadi praktik konkret dari ijtihad lingkungan bersama pemerintah, masyarakat dan umat Islam pada khususnya, sebagai upaya menyatukan teknologi, kebijakan, dan nilai moral.(*)

*)Penulis adalah Wakil Sekretaris PD Al Washliyah Medan