Tuak Resmi jadi Wisata di Samosir, Kadisbudpar Sumut Ria Pun Hadir

Kadisbudpar Sumut (dua dari kiri) dan Bupati Samosir meresmikan wisata Bagot di Lumban Sitanggang. (ist/kaldera)
Kadisbudpar Sumut (dua dari kiri) dan Bupati Samosir meresmikan wisata Bagot di Lumban Sitanggang. (ist/kaldera)

MEDAN, kaldera.id – Pemerintah meresmikan wisata Bagot (pohon nira yang menghasilkan tuak) di Lumban Sitanggang, Desa Parlondut, Pangururan, Samosir, Jumat (11/9/2020). Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Ria Telaumbanua turut meresmikan destinasi itu bersama Bupati Samosir, Rapidin Simbolon.

Wisata Bagot ini dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang dikukuhkan bupati. Kadis Pariwisata Sumut, Ria Telambanua, mengatakan sangat mendukung setiap program pariwisata di Samosir. “Mari wujudkan Samosir khususnya Objek Wisata Bagot, sebagai objek wisata bersih, sehat dan aman. Maka akan banyak orang yang datang berwisata,” ujar Ria seperti dilansir waspada.id.

Sementara, Jekiman Sitanggang, Ketua Pokdarwis Bagot, mengatakan, nira yang menghasilkan tuak, dikemas menjadi menjadi potensi wisata. “Pengunjung yang datang ke desa wisata ini, hanya bisa minum tuak dua gelas,” sebut Jekiman dalam sambutannya di laman hariansib.com.

Menurutnya, lokasi Pokdarwis Wisata Bagot di Lumban Sitanggang sangat strategis. “Persis berhadapan dengan Gunung Pusuk Buhit dengan latar Danau Toba,” ujarnya.

“Kita akan terapkan kebijakan humanis, artinya pengunjung harus mampu menahan diri, hanya boleh minum 2 gelas tuak,” terang Kepala Desa Parlondut, Patar Sitanggang.

Dikutip dari skripsi Nielson DR Sihombing (USU: 2013), tuak adalah minuman khas orang Batak yang disadap dari pohon bagot. Proses penyadapan air nira dari bagot disebut maragat biasanya dilakukan oleh seorang paragat. Sebelum tandan dari pohon bagot diagati terlebih dahulu tandan bagot tersebut dipukul berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal selama dua minggu sampai tandan dari bagot tersebut menguning, baru dipotong mayangnya.

Kemudian membungkus ujung tandan yang telah dipotong tersebut. dengan memberi kapur sirih atau keladi yang ditumbuk selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah airnya mulai menetes. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan nira dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting. Sekarang ini para paragat sudah menggunakan jeregen sebagai alat untuk menampung tetesan nira tersebut.(int/f rozi)