Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani

JAKARTA, kaldera.id – DPR Komisi III mengaku belum menerima laporan langsung dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pemberhentian 36 kasus dalam ranah penyelidikan. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta laporan tersebut pada rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK setelah pertama kali dilakukan akhir Januari lalu.

“Kita tunggu pada periode akan datang, setelah DPR selesai reses. Akhir atau pertengahan Maret,” ujarnya di Komplek DPR/MPR, Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (23/02/2020).

Arsul menjelaskan perkara ini bakal ditanyakan dalam RDP kepada komisioner KPK. Namun rapat harus digelar tertutup.

Dia menambahkan, dari laporan KPK dalam rapat tersebut pihaknya ingin memastikan memang tidak ada bukti yang cukup pada setiap kasus yang dihentikan.

“Kalau ada [bukti lain] diserahkan ke Komisi III. Nanti Komisi III bicara lagi ke KPK,” ujarnya.

Dia pun menegaskan jika ditemukan bukti baru kasus-kasus tersebut bisa kembali dibuka. Menurutnya, penghentian kasus di ranah hukum tidak bersifat permanen selayaknya putusan pengadilan.

Lebih lanjut Arsul menganggap penghentian 36 kasus oleh KPK pada periode kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri adalah hal biasa. Ia kemudian menyinggung penghentian 162 kasus yang dilaporkan pimpinan KPK sebelumnya ke Komisi III.

“Yang berbeda [dari kedua periode kepemimpinan] cuma satu. Yang dulu-dulu dokumennya tidak dibocorkan ke media tertentu. Ya kalau sekarang bocor duluan ke media tertentu kemudian jadi ramai,” ucapnya.

Arsul menilai beredarnya kabar penghentian 36 kasus penyelidikan ini karena ada rasa tidak percaya dari masyarakat terhadap pimpinan KPK periode 2019-2024.

“Kemudian apapun yang dibuat pimpinan KPK, terlepas positif atau negatif, selalu dimaknai negatif,” tambahnya.

KPK sendiri mengatakan penghentian kasus yang dilakukan pihaknya sudah sesuai dengan Pasal 44 Ayat 3 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebanyak 36 kasus yang dihentikan itu adalah penyelidikan tertutup yang sudah dilakukan sejak 2010 lalu.

KPK diketahui enggan mengungkap kasus apa saja yang dihentikan dengan alasan melindungi pelapor. Dugaan kasus korupsi pada kasus-kasus tersebut juga dikatakan termasuk dalam informasi yang dikecualikan.

Hal ini pun menuai banyak kritik. Salah satunya datang dari Indonesia Corruption Watch yang menduga ada penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Ini mengingat Firli sebelumnya merupakan perwira tinggi Polri, sehingga dikhawatirkan penghentian itu sarat konflik kepentingan.

Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto juga mempertanyakan langkah ini. Dia mengaku khawatir ada upaya tebang pilih yang dilakukan KPK. (fey/ain/cnn/finta)