JAKARTA, kaldera.id – Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) mengungkap beberapa tantangan dalam proses pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Tantangan terberat yakni pada proses pengecekan berdasarkan laporan riwayat kredit seseorang yang dicatat Bank Indonesia (BI Checking).
Direktur Utama Perumnas Bambang Triwibowo mengungkap sekitar 46 persen pengajuan kredit ditolak karena tidak memenuhi syarat BI checking pada 2019.
“46 persen yang pesan di kami gagal (BI Checking). Padahal, rumahnya sudah dibikin,” kata Bambang di gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (26/2/2020).
Selain macetnya pengajuan kredit akibat BI Checking, kata Bambang, ada pula tantangan lain yang dihadapi Perumnas dalam pengembangan dan penjualan hunian terjangkau di Indonesia.
Menurutnya, kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau subsidi pemerintah yang rendah menjadi alasan lain sulitnya penjualan hunian Perumnas. Kemudian, proses perizinan yang lama dan modal yang minim juga menjadi tantangan bagi Perumnas.
Karenanya, Perumnas mengembangkan konsep Transit Oriented Development (TOD) bersama PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan DAMRI. Kerja sama tersebut dilakukan untuk lebih memenuhi kebutuhan perumahan pada masyarakat berpenghasilan rendah.
Saat ini, Perumnas sudah membangun beberapa Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) dengan model apartemen di beberapa lokasi di Jabodetabek. Beberapa di antaranya adalah proyek TOD di Tanjung Barat yang tahapnya sudah 36 persen, TOD Pondok China dengan tahap 37 persen, dan TOD Rawa Buntu yang tahapnya masih 21 persen.
“Kami membangun TOD 3 buah, dan laris bukan main. Berikutnya kami kerja sama dengan DAMRI, karena mereka menyediakan bus yang bisa kemana saja,” jelas Bambang.
Direktur Pemasaran Perumnas Anna Kunti Pratiwi menambahkan macetnya proses pengajuan kredit akibat BI Checking antara lain disebabkan karena kreditur masih memiliki tanggungan kredit di tempat lain. Misalnya tanggungan kartu kredit, kredit motor, ataupun kredit untuk barang-barang konsumtif lainnya.
“Macam macam, kadang tagihan kartu kredit yang belum lunas saja bisa masuk ke dalam catatan di BI-nya. Ada yang masih motor, ada yang nyicil barang konsumtif lainnya,” kata Anna.
Selain itu, Anna mencatat sebanyak 60-70 persen dari kreditur yang tak lolos BI Checking merupakan golongan milenial yang berusia di bawah 35 tahun.
“Biasanya yang suka nyicil jangka panjang kan pasti yang milenial,” ujarnya.
Untuk penjualan rusunami sendiri, perusahaan dilakukan dengan skema waiting list. Artinya, kreditur baru bisa mengajukan pembelian ketika proses pembangunan rusunami tersebut selesai.
“Memang kami bentuknya masih waiting list saja. Karena untuk penyaluran dan proses untuk Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) baru bisa dilaksanakan kalau bangunannya sudah jadi,” ungkap Anna.(ang/sfr/cnn/finta)