Oleh Armin Nasution
SELALUNYA setiap hari di meja saya biasa bekerja banyak sekali surat yang berhubungan dengan mahasiswa. Mulai dari urusan permintaan mengambil mata kuliah atas, pengisian KRS, seminar proposal hingga urusan skripsi. Dan itu setiap hari selalu ada.
Suatu ketika, beberapa waktu lalu mata saya fokus pada satu surat yang tidak lazim dari biasanya. Perihal suratnya permohonan cuti kuliah. Saya baca lambat-lambat surat itu, saya lihat nama mahasiswanya. Bermarga Nasution pula dan dari pelosok Mandailing Natal sana.
Surat persetujuan ini tidak saya teken langsung. Biasanya memang untuk surat yang berhubungan dengan pribadi selalunya saya harus dalami dulu masalahnya. Saya panggil mahasiswanya dengan nomor handhpone yang tertera di surat. Tak bisa langsung datang di hari tersebut.
Besoknya dia datang. Lantas saya tanyakan kenapa cuti kuliah. Ayahnya sudah berpulang. Ibu-nya, kata dia, tak sanggup menanggung biaya sendiri. “Saya pak tak bisa memenuhi biaya kehidupan sehari-hari. Belum lagi uang kuliah,” kata si mahasiswa ini. Ada kakaknya tinggal di Medan tapi pun penghasilannya tak memungkinkan.
Lamat-lamat saya perhatikan si mahasiswa. Dalam hati saya berfikir, anak ini jangan sampai tak kuliah, tapi bukan hanya karena dia bermarga Nasution. Inisiatif muncul. Saya hubungi dekan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan waktu itu Prof. Indra Maipita. Saya tahu kalau dekan ini bukan orang yang tega dan biasanya akan mencari solusi.
Panjang lebar saya jelaskan di chat karena dia masih di luar kota. Akhirnya setelah dia kembali ke kampus kami bicara. Mahasiswa tersebut dipanggil ke ruang dekan. Konon siapapun boleh masuk ke ruang dekan ini tanpa protokoler. Di pertemuan itu kemudian dia carikan solusinya. Pertama dia berikan uang cash untuk biaya hidup si mahasiswa, kedua uang kuliah dijanjikannya untuk dibayar dan ketiga, sementara waktu si mahasiswa boleh tinggal di rumahnya.
Lagi-lagi saya terhenyak karena bukan saya yang membantu langsung. Tapi dekan yang mengambilalih. Ini bukan case pertama sebenarnya. Jauh sebelum itu, ada mahasiswa tinggal di Langkat yang di hari terakhir harus membayar UKT. Pun waktu itu saya hubungi dekan Prof. Indra Maipita.
Komentarnya singkat ke si mahasiswa sambil menyerahkan uang: kamu ini maunya jangan di deadline baru datang. Lantas dia menyerahkan uang Rp2,5 juta untuk menyuruh si mahasiswa membayar uang kuliahnya hari itu juga. Kemudian Prof. Indra menelepon lembaga amil zakat Unimed agar mahasiswa tersebut dibantu. Dan nanti uang bantuan yang sudah diberikannya diganti untuk diberikan lagi ke mahasiswa yang kesulitan.
Entah beberapa kali dan sudah berkali-kali memang saya menyaksikan pemandangan bernada empati itu di depan mata kepala sendiri. Sepanjang menjadi dekan di FE tak saya hitung berapa mahasiswa yang dibantunya. Soal penilaian masing-masing orang, terserah saja. Tapi bagi saya terlepas plus minusnya, Prof. Indra Maipita ini adalah orang yang punya empati tinggi dan tak akan membiarkan mahasiswa terjebak tak kuliah ketika kesulitan ekonomi. Mungkin karena dia lahir dan besar dari perjuangan yang susah.
Dan Prof. Indra Maipita sudah menyelesaikan jabatan dekan dua periode di FE Unimed dengan legacy. Menambah tiga prodi baru yaitu kewirausahaan, bisnis digital, ilmu ekonomi dan meningkatkan status akreditasi semua prodi ditambah penambahan gedung baca dan fasilitas lain. Artinya selain punya kemampuan akademik mumpuni, empatinya pun tinggi.
Bagi orang lain yang memandang, mungkin empati pejabat seperti ini dianggap pencitraan atau hal yang tidak membanggakan. Tapi problemnya saya menyaksikan sendiri soal empati ini. Beberapa kali Prof Indra bilang, yang seperti ini jangan dicerita-ceritakan ya. Nanti pandangan orang beda-beda atau nanti semua mahasiswa menyerbu saya minta bantuan, katanya ringan sambil senyum.
Pernah tanpa sepengetahuannya saya videokan ketika dia memberi bantuan kepada mahasiswa yang kesulitan. Saya upload di instagram. Baru beberapa jam sudah dilike seratusan ribu orang. Akhirnya kabar itu sampai kepadanya lalu dia telefon. “Take down la itu tak baik dilihat orang. Nanti apa kata orang. Masih banyak pejabat lebih tinggi dari saya. Kita ikhlas, tapi orang mungkin berfikir kita mau riya dan showing,” katanya. Tak lama video itu saya hide saja dan tetap tersimpan. Prof. Indra pasti tak tahu itu.
Yang mau saya sampaikan adalah tak banyak pejabat yang faham dengan kondisi mahasiswa dan punya empati. Pejabat di perguruan tinggi sampai ke Menteri Pendidikan mungkin tak mengerti sulitnya orang tua siswa membayar uang kuliah. Karena bagi pejabat, uang kuliah Rp5 juta sampai Rp10 juta itu masih kecil. Mereka fikir mungkin biaya yang dikeluarkan untuk anak hanya membayar uang kuliah saja tanpa menghitung biaya hidupnya. Bagi mereka UKT itu kecil, karena mereka bisa menguliahkan anak-anaknya sampai ke luar negeri. Tapi kan tak semua orang tua punya kesanggupan sama.
Kacaunya, seorang dosen yang profesinya sama dengan saya bercerita. Anak saya tiga perempuan dan ketiganya sekarang kuliah, kata dia. Karena dia PNS maka uang kuliah anaknya yang pertama Rp7,5 juta. Begitu anak kedua kuliah, sama uang kuliahnya. Dan tahun lalu ketika anak ketiganya masuk, uang kuliahnya sebesar itu juga.
“Ini bagaimana ya. Seharusnya penentuan UKT itu mengacu pada jumlah tanggungan dan besar uang kuliah. Kalau ternyata hanya karena di kartu keluarga profesi saya PNS lalu anak pertama sampai ketiga disamakan uang kuliahnya, coba dengan gaji dan penghasilan dosen tanpa tugas tambahan apakah mampu,” tuturnya.
Maka wajar kalau kemudian penentuan UKT ini masih penuh kejanggalan dan perlu perbaikan. Saya jujur, tak yakin tim verifikasi penentuan UKT itu mendatangi semua rumah mahasiswa yang lolos masuk perguruan tinggi, lalu menentukan uang kuliahnya. Verifikasinya pasti di administrasi. Nah jika administrasi yang diverifikasi, siap-siap saja akan banyak orang tua terkejut ketika tahu berapa uang kuliah anaknya.
Ilustrasinya begini. Katakan satu perguruan tinggi menerima mahasiswa baru 6.000 orang atau lebih. Siapa petugas dan berapa banyak petugas yang akan turun ke rumah-rumah mahasiswa memverifikasi kondisinya lalu menentukan uang kuliahnya. Serta akan berapa lama kemudian dari verifikasi itu bisa ditentukan UKT-nya.
Atau katakan tim verifikasi menggunakan satelit untuk melihat kondisi rumah dan tempat tinggal, apakah yang dicek itu rumahnya si mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Apakah rumah tinggalnya milik sendiri dan banyak pertanyaan lain.
Yang iya-nya angka UKT itu muncul hanya dari verifikasi administrasi. Maka anak PNS uang kuliahnya Rp5 juta-an ke atas, anak pedagang bisa Rp3 juta ke atas atau malah ada yang sampai Rp8 juta ke atas. Yang lucu ada anak orang susah tapi lolos di perguruan tinggi negeri uang kuliahnya Rp8 juta. Sampai viral di sosmed kalau dia mengurungkan niat untuk tak kuliah.
Jadi jangan terkejut kalau ketika orang tua yang menguliahkan anaknya mendapati UKT tinggi. Tentu yang komplen pun yang UKT nya dirasa tak sesuai kemampuan. Kalau yang UKT nya rendah tak akan protes. Ada pernah kita dengar orang tua karena uang kuliah anaknya terlalu rendah lalu dia surati kampus agar dinaikkan? Wajar kalau kemudian setiap penerimaan mahasiswa baru akan banyak yang chat ke saya: Bang bisa abang bantu dulu ke PTN ‘anu’ agar uang kuliah anak saya ada permohonan penurunan.
Tapi sejujurnya saya tak bisa menjamin itu akan turun walau kenal langsung dengan kawan-kawan sebagian kecil pejabat di perguruan tinggi. Biasanya saya hanya sarankan lewat jalur berprosedur. Jika uang kuliah semakin tinggi percayalah setiap tahun semakin banyak calon mahasiswa yang lulus PTN tapi tak jadi kuliah karena tak sanggup membayar.
Atau takunya ketika mereka masuk kuliah lantas bilang: bayar uang kuliah mahal-mahal, fasilitas kampus pun tak memadai. Mulai dari kamar mandi sampai ruang kuliah malah lebih bagus zaman SMA, kata mereka.