MEDAN, kaldera.id – Dugaan korupsi dalam kasus proyek penataan Situs Benteng Putri Hijau seperti masuk babak baru. Belakangan Zumri Sulthony, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, ditetapkan sebagai tersangka. Tapi memang sejak awal pekerjaan proyek di tempat bersejarah ini memang syarat masalah.
Salah satunya, seperti dilansir dari kompas.id, situs Benteng Putri Hijau di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, itu sebelumnya dirusak oleh proyek penataan yang dilakukan Disbudpar Sumut.
Benteng berupa gundukan tanah di sisi barat Sungai Patani (hulu Sungai Deli) itu merupakan zona inti cagar budaya. Pada akhir November 2022, sebagian benteng, yakni sekitar 5 meter x 20 meter, dijebol untuk membuka jalan. Menurut para pekerja di sana, ditemukan sejumlah artefak, seperti tembikar dan keramik, dari benteng yang dijebol itu.
Dari informasi yang dihimpun pekerjaan proyek penataan situs sejarah ini sudah pernah diingatkan salah seorang pejabat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, agar tidak dipaksa untuk dikerjakan. Bagaimana ceritanya?
“Sejak awal proyek tersebut tidak didampingi ahli cagar budaya dan dukungan peralatannya lemah. Itu sebabnya, proyek Benteng Putri Hijau ditolak oleh PPTK, Ibu Berutu. Ini masalah yang membawa kasus ini ke ranah hukum,” kata sumber yang mengetahui perjalanan pekerjaan ini di Kantor Gubsu, kemarin.
Nama Ibu Berutu, lengkapnya Rumerahwaty Berutu. Nama itu disebut di dalam data umum tentang kasus dugaan korupsi ini yang tercantum di SIPP PN Medan. Disebutkan, proses pengadaan penataan situs Benteng Putri Hijau mulai menemui masalah. Ia mengungkapkan bahwa hasil pemeriksaan dokumen dan fisik pemenang lelang dengan dukungan peralatan memiliki kelemahan.
Meski hasil pemeriksaan ini sudah dilaporkan ke Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setdapropsu, proyek tetap dilanjutkan. Rumerahwaty pun menolak hasil lelang dan akhirnya mundur. Pada 31 Oktober 2022, Rumerahwaty Berutu, mengundurkan diri melalui Nota Dinas Nomor: 712/Sepur/2022.
Zumri Sulthony kemudian menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 800/2243/Disbudpar/XII/2022 yang menunjuk Junaidi Purba sebagai pengganti Rumerahwaty. Junaidi, bersama RGM (CV CP/Konsultan Pengawas) dan RS (CV KNG), melanjutkan proyek berdasarkan Kontrak Nomor: 156/SP/TENDER/DKP/2022 dengan waktu pelaksanaan 60 hari mulai 28 Oktober hingga 27 Desember 2022.
Kenapa Zumri memaksakan proyek ini tetap berjalan, tentu hanya dia yang tahu. Tapi bisa jadi setelah dia ditetapkan sebagai tersangka, penyidik dapat membongkar motif dari Kadisbudpar untuk tetap menjalankan proyek ini meski sudah diingatkan Rumerahwaty Berutu. Ya, diketahui Zumri ditahan penyidik Kejatisu pada 11 Maret 2025 usai ditetapkan sebagai tersangka.
Kejatisu memaparkan, proyek itu tidak selesai tepat waktu, dilakukan dua kali adendum (perubahan), dan ada kekurangan volume pekerjaan. Ahli Auditor Kejati Sumut menyimpulkan, kerugian keuangan negara akibat korupsi itu Rp817 juta dari total nilai proyek Rp3,37 miliar.
Sebelum Zumri, penyidik Kejatisu sudah menetapkan tiga orang menjadi tersangka dan saat ini sudah menjalani proses persidangan, totalnya ada 4 orang yang sudah terseret oleh Benteng Putri Hijau.
Ketiga terdakwa yakni Junaidi, bersama RGM (CV CP/Konsultan Pengawas) dan RS (CV KNG). Setelah pemeriksaan keterangan saksi pada 17 Maret 2025, Majelis Hakim menunda sidang hingga Kamis, 10 April 2025 dengan agenda pemeriksaan keterangan Ahli.
Ya pada akhirnya, kasus ini mengajarkan beberapa hal. Pertama, menangani situs sejarah, tidak boleh asal karena ia menyimpan kisah peradaban untuk generasi di masa depan. Kalau asal, bisa-bisa kualat. Kedua, kekuasaan selalu bertendensi untuk korupsi maka jangan korupsi saat berkuasa. Ketiga, integritas itu menyelamatkan. Seperti Ibu Berutu, ia memilih kehilangan jabatan daripada ikut ‘mainan’.(*/red)