Lokakarya Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang digelar Green Justice Indonesia (GJI) bersama PD Al Washliyah Kota Medan pada Sabtu (21/11/2025).
MEDAN, kaldera.id – Isu krisis energi dan perubahan iklim menjadi tantangan global yang menuntut respons serius dan sistemik dari semua pihak termasuk organisasi Islam.
Hal ini terungkap dalam Lokakarya Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang digelar Green Justice Indonesia (GJI) bersama PD Al Washliyah Kota Medan pada Sabtu (21/11/2025).
Dalam siaran pers yang diterima kemarin, kegiatan ini mempertemukan para ustadz dan cendikiawan muslim dari berbagai latar belakang untuk memperdalam pemahaman mengenai transisi energi yang inklusif, partisipatif, dan adil menurut ajaran Islam.
Ketua Pimpinan Wilayah Al Jam’iyatul Washliyah Sumatera Utara, Dedi Iskandar Batubara saat membuka sekaligus menjadi keynote speaker mengapresiasi kegiatan ini dan menyatakan bahwa sangat penting untuk menghidupkan ruang-ruang saintifik dalam organisasi Islam di antaranya dalam menghadapi isu global mengenai transisi energi.
“Tentu ruang-ruang saintifik dan ilmiah ini harus hidup dan kita pelihara dalam aktivitas berorganisasi kita,” katanya.
Dedi membacakan makalahnya berjudul ‘Revitalisasi Paradigma Maqasid Syariah dalam Menjawab Isu Energi dan Lingkungan Hidup’. Dikatakannya, laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) disebutkan bahwa kondisi ini merupakan titik terendah dalam sejarah umat manusia.
“Ini bukan sebatas isu. Ini sudah masuk ke rumah kita, masuk ke dapur bahkan menagih di tagihan listrik kita. banjir, gelombang panas, dan polusi udara itu membebani kantong serta kesehatan keluarga di seluruh dunia,” katanya.
Menurutnya, pergantian sistem energi global dipastikan akan menimbulkan gegar sosial-ekonomi. Industri fosil yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung ekonomi global kini menghadapi masa-masa sulit. Karena itu, konsep transisi yang adil menjadi sangat krusial. Menurutnya, perubahan tidak boleh meninggalkan pekerja dan komunitas terdampak dalam keadaan tersisih.
“Investasi besar tetap dibutuhkan, tetapi lingkungan juga harus dijaga. Udara harus tetap bersih. Energi terbarukan adalah bagian dari perlindungan jiwa, sesuai nilai-nilai keagamaan kita,” katanya.
Direktur Green Justice Indonesia, Panut Hadisiswoyo mengatakan, Lokakarya Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang melibatkan para ulama, cendekiawan, dan juga para guru dari Al Washliyah ini untuk merumuskan pemikiran-pemikiran pokok terkait fikih yang berhubungan dengan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
“Pada kesempatan ini sebenarnya dapat disimpulkan bahwa transisi energi bukan hanya soal teknologi, tetapi soal moral dan keberpihakan,” ujarnya.
Oleh karena itu, perlu merumuskan berbagai konsep penting yang terkait dengan fikih yang diatur dalam syariat keislaman, dan juga bagaimana organisasi atau lembaga keagamaan bisa menjadi motor penggerak transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dijelaskannya, semua pemikiran dari para ustaz tersebut nantinya akan dikumpulkan dalam menjadi sebuah buku sebagai bagian dari edukasi publik tentang fikih yang terkait gerakan transisi energi berkeadilan.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Daerah Al Jam’iyatul Washliyah Kota Medan, Abdul Hafiz Harahap mengatakan, kegiatan ini merupakan kolaborasi antara Al Washliyah Kota Medan dan Green Justice Indonesia untuk mensosialisasikan transisi energi kepada seluruh masyarakat di Sumatera Utara.
“Salah satu luaran kegiatan ini adalah lahirnya tulisan-tulisan yang ikut mengampanyekan program ini. Makanya tadi kita hadirkan para cendekiawan dari Washliyah, sekitar 20 orang, dan kita minta mereka membuat tulisan, baik bebas maupun ilmiah, untuk dipublikasikan dan menjadi konsumsi masyarakat luas,” katanya.
Setelah kumpulan tulisan dibukukan, nantinya dapat didistribusikan didistribusikan ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tokoh-tokoh, dan masyarakat luas, agar memiliki pemahaman dan visi yang sama tentang krisis energi dan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan ke depan.
“Pesan dakwah mungkin akan sedikit bergeser, tidak hanya soal surga, neraka, pahala, dosa, tetapi masuk ke lingkup yang lebih luas, seperti bagaimana menjaga lingkungan, menyelamatkan lingkungan, menghemat sumber daya alam, dan melahirkan manfaat bagi masyarakat dan umat secara keseluruhan,” ujarnya. (efri surbakti/red)