Beberapa penikmat kopi berbincang di depan AEKI Cerita Kopi, Jalan Kirana, Medan.
Beberapa penikmat kopi berbincang di depan AEKI Cerita Kopi, Jalan Kirana, Medan.

MEDAN, kaldera.id – Cerita tentang citarasa kopi, ternyata kopi asal Sumatera itu tiada duanya di dunia. Sayang, perkembangan sisi produksi nihil. Sementara negeri lain penghasil kopi, terus melebarkan sayap produksi dan distribusinya.

Begitulah hasil bincang-bincang kaldera.id dengan Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumatera Utara, Saidul Alam, beberapa waktu lalu. “Budidaya tanaman kopi kita begitu-begitu saja. Tak ada pengembangan. Teknologi itu tidak ada masuk dalam budidayanya. Turun temurun nenek moyang menanam kopi, ya turun temurun masih begitu saja caranya,” kata Alam.

Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumatera Utara, Saidul Alam.
Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumatera Utara, Saidul Alam.

Dulu kata dia, 1 batang pohon kopi bisa menghasilkan 5 kg, sekarang hanya 2 kg. Produksinya turun terus karena tidak ada perlakuan khusus terhadap pohon. Pertahun kira-kira, kata dia, pihaknya bisa mengekspor 60 sampai 65 ribu ton dari Belawan untuk masuk ke pasar dunia. “Untuk harga ekspor kopi jenis arabica saat ini berada di posisi USD 5,5 – USD 5,6 per kg,” katanya.

Menurut dia, banyak kopi yang ditanam di Indonesia tapi tetap tidak bisa mensejahterakan petani kopi. Lantas, siapa yang mengambil untung dari kondisi itu? “Tidak ada,” ujar Saidul Alam.

Dia mengatakan, sebagai eksportir pihaknya dulu di awal 2000-an bisa menjual kopi dari Januari hingga Desember setiap tahun. “Kami bisa menjual 2 kontainer perbulan. Sekarang, 3 bulan ke depan aku tak berani. Karena tidak ada kepastian barang,” bebernya.

Karena itu, ketika butuh barang tapi pasokan kopi minim mereka terpaksa harus beli dengan harga berapapun. Itu yang buat harga kopi Sumatera semakin naik. Untuk pasar dunia kata dia, kopi Sumatera tidak kehabisan permintaan. “Itu sebabnya kopi kita semakin tinggi harganya, karena barangnya minim,” ungkapnya.

Saat ini misalnya, kata dia, importir-importir asal Jepang sudah mengambil kopi dari Brazil, dengan harga yang lebih murah dan pasokannya cukup banyak. Kalau masalah citrasa kopinya, ada juga yang beli kopi Sumatera dari kita, terus dicampur (mix). “Sekarang sudah banyak ahli kopi dan bantuan teknologi yang memadai sehingga rasanya bisa hampir sama enaknya. Terus mereka beri nama juga Kopi Sumatera, di pasar luar negeri. Padahal sudah dicampur ya tak masalah,” bebernya.

Dia menyebutkan, eksportir yang terdaftar di AEKI Sumut sebanyak 94, dan yang aktif sekitar 40. Pangsa pasar yang paling besar Amerika. “Starbucks itu 60% ambil Kopi Sumatera. Dari jumlah 60.000 ton per tahun yang kita ekspor, sekitar 30.000 – 35.000 ton ke sana. Kopi Sumatera ini bagus, hanya saja produksinya yang kurang,” sebutnya.

Sumatera Utara, kata dia, dengan 70.000 hektar lahan yang bisa ditanami kopi. Aceh sekitar 110.000 hektar tapi Sumut cuma 20% menyumpang ekspor kopi. Untuk pengelolaan kopi, Aceh jauh lebih maju pascatsunami di bandingkan Sumut. “Karena banyak orang asing yang melirik kopi di sana. Sehingga pemikiran mereka lebih maju dan bisa menghasilkan 1,5 ton pertahun. Kalau Sumut, hanya 600.000 kg – 700.000 kg saja,” terangnya. (f rozi)