Emansipasi Wanita dari Padangsidempuan Sebelum Kartini

Dari catatan sejarah pendidikan Hindia Belanda, Alimatoe Saadiah merupakan perempuan pribumi pertama yang mendapat pelajaran dari kurikulum sekolah Eropa.
Dari catatan sejarah pendidikan Hindia Belanda, Alimatoe Saadiah merupakan perempuan pribumi pertama yang mendapat pelajaran dari kurikulum sekolah Eropa.

Oleh: Rahmad Nur Lubis

MEDAN, kaldera.id- Tahukah kalian bahwa sejarah emansipasi di Padangsidimpuan sesungguhnya lebih awal dibandingkan di tempat lain?

Ketika RA Kartini masih asyik surat-suratan dengan temannya di Belanda, seorang perempuan asal Padangsidimpuan malah sudah menyelesaikan pendidikan Eropanya.

Dia adalah Alimatoe Saadiah br Harahap. Tahun 1900 (lima tahun sebelum Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun), Alimatoe Saadiah sudah menyelesaikan pendidikannya dari ELS (sekolah Eropa tujuh tahun) di Padang.

Dari catatan sejarah pendidikan Hindia Belanda, Alimatoe Saadiah merupakan perempuan pribumi pertama yang mendapat pelajaran dari kurikulum sekolah Eropa.

Lalu, dia sempat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Radja di Fort de Kock (Bukit Tinggi). Sayang tak sampai selesai, karena dia dibawa ayahnya pulang kampung ke Padangsidimpuan.

Sang ayah, Dja Endar Moeda Harahap, merupakan mantan guru, pengarang novel, pendiri sekolah swasta pertama di Padang, dan editor surat kabar Perjta Barat di Padang tahun 1895. Alimatoe Saadiah adalah putri satu-satunya Dja Endar Moeda.

Tahun 1903 Alimatoe Saadiah menikah dengan dr Harun Al Rasjid Nasoetion di Padang. Setelah menikah, pasangan baru ini pindah ke Sibolga dan kemudian menetap di Lampung.

Dua tahun setelah pernikahan itu, lahirlah seorang perempuan yang mereka beri nama Ida Loemongga Nasoetion. Kelak perempuan ini lah yang mencatatkan dirinya sebagai perempuan pribumi pertama yang meraih gelar Doktor (PhD).

Ida Loemongga memulai pendidikannya dari ELS Tandjong Karang, kemudian dilanjutkan ke Prins Hendrik School (afdeeling-B/IPA) di Batavia tahun 1918.

Setelah lulus tahun 1922, dia diterima ujian masuk STOVIA (Sekolah Kedokteran pertama di Hindia Belanda yang jadi cikal bakal Universitas Indonesia), namun karena tergolong cerdas, Ida direkomendasikan untuk melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda.

Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, di usianya yang baru menginjak 18 tahun, Ida Loemongga berangkat sendiri ke Amsterdam Belanda dengan menaiki kapal laut. Si Boru Suti yang tidak hanya cerdas, tapi juga pemberani.

Ida Loemongga kemudian berhasil memperoleh gelar sarjana kedokteran pada tahun 1927 di Universiteit Utrecht dalam usia 22 tahun. Hanya setahun kemudian, Si Boru Suti langsung mengambil dokter spesialis di Universiteit Lieden. Di sela itu, dia menjadi asisten dr Caroline Lang yang juga dosen di Universiteit Amsterdam.

Tahun 1931, di usia 27 tahun, Ida Loemongga dipromosikan sebagai Doktor di bidang kedokteran dengan promotor dr Lang sendiri. Di hadapan para guru besar Universiteit Amsterdam, Ida Loemongga berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “Diagnose en Prognose van aangeboren Hartgebreken” (Diagnosa dan Prognosa Cacat Jantung Bawaan).

Atas keberhasilannya itu, Bataviaasch nieuwsblad memberitakan bahwa Ida Loemongga Nasution, putri dari Haroen Al Rasjid, adalah perempuan pribumi pertama yang meraih Doktor di bidang kedokteran. Dia menjadi orang keenam yang berhasil menyandang gelar Doktor di Indonesia,

Yang pertama adalah Hussein Djajadiningrat yang meraih gelar Doktor di bidang Sastra dari Universiteit Leiden pada Mei 1913. Doktor kedua adalah Mr. Gondokoesoemo yang pada tahun 1922 menyelesaikan studi Doktor bidang hukum. Pada tahun ini juga, dilaporkan Mr Li Tjoan Kiat meraih gelar Doktor di bidang kedokteran dengan predikat cumlaude, anak seorang Letnan Cina di Djombang (De Sumatra post, 28-08-1922). Namun Li Tjoan Kiat tidak pernah kembali ke tanah air, dan lebih memilih berkarir di Eropa.

Orang keempat adalah Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi. Anak Batang Toru, Tapanuli Selatan, ini memperoleh gelar Doktor di bidang hukum dari Leiden tahun 1925. Alinoedin Siregar merupakan sarjana (ahli) hukum pertama dari Tanah Batak dan salah satu dari delapan ahli hukum pribumi yang ada di Nederlancsh-Indie kala itu.

Kesemua itu berjenis kelamin pria, dan Doktor keenam adalah seorang perempuan bernama Ida Loemongga Nasoetion!

Dua belas tahun sebelum itu, di Medan ada seorang perempuan bernama Boetet Satidjah. Perempuan ini bukan sembarang orang. Boetet Satidjah adalah editor suratkabar bulanan “Perempoean Bergerak” yang terbit di Medan tahun 1919 (De Preanger-bode, 19-06-1919). Motto surat kabar kaum perempuan ini cukup inspiratif; ‘De beste stuurlui staan aan wal’ (Sahabat terbaik mampu melindungi).

Nama surat kabar “Perempoean Bergerak” ini terkesan lebih revolusioner dibandingkan dengan surat kabar perempuan yang pernah terbit di Padang, Sunting Melayu (1912). Dari nama mengandung makna yang jelas dan bersifat nasionalis. “Perempoean Bergerak” mendorong perempuan untuk tidak bermalas-malasan dan sudah waktunya bergerak lebih maju. Sedangkan Sunting Melayu dari namanya hanya mengandung makna hiasan (sunting) bagi etnik Melayu saja (seperti halnya Boedi Oetomo, Jawa).

Karena itu, Boetet Satidjah tercatat sebagai wartawati pertama yang merupakan pendiri dan sekaligus editor surat kabar. Boetet kelak dikenal sebagai istri dari Parada Harahap, wartawan paling revolusioner di Indonesia.

Adik-adiknya juga tidak ketinggalan untuk mendirikan surat kabar yang diberi nama ‘Boroe Tapanoeli’. Surat kabar ini diterbitkan oleh tokoh-tokoh perempuan muda di Padangsidimpuan, dan terbit pertama kali pada tanggal 10 Oktober 1940. Kemudian terbit secara berkala, setiap 10 hari sekali (tanggal 10, 20 dan 30).

Surat kabar ini dipimpin oleh Srikandi Padangsidimpuan bernama Awan Chatidjah Siregar, dengan anggota redaksi: Soemasari Rangkoeti, Roesni Daulaj, Dorom Harahap, Marie Oentoeng Harahap dan Halimah Loebis. Pada bagian administrasi tercantum nama Siti Sjachban Siregar, Lela Rangkoeti dan Intan Nasoetion.

Lepas dari itu, di Tanah Batak sudah sejak zaman purba emansipasi dielaborasi ke dalam sistem sosial yang dikenal dengan konsep ‘dalihan na tolu’: hati-hati terhadap kahanggi (semarga), mengayomi terhadap boru (marga yang mengambil boru) dan bersembah terhadap mora (marga pemberi boru). Dalam konteks sosial, di Tanah Batak perempuan harus ditinggikan tempatnya. Emansipasi di bidang pendidikan dan pers adalah produk ‘dalihan na tolu’.

Studi tentang kedudukan wanita di Tanah Batak sudah dilakukan oleh Masdoelhak Nasoetion gelar Soetan Oloan dalam disertasinya berjudul; ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Disertasi itu mengantarkannya meraih gelar Doktor dari Universiteit Leiden tahun 1943, sekaligus mencatatkan namanya sebagai pribumi terakhir yang meraih gelar doktor sebelum usainya era kolonialisme Belanda di nusantara.

Selamat Hari Kartini!
Selamat Hari Ida Loemongga!
Selamat Hari Boetet Satidjah!
Selamat perempuan-perempuan Indonesia yang hebat!

Penulis adalah mantan wartawan, domisili di Medan