Anggota Komisi 4 DPRD Medan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait parkir berlangganan dengan mengundang sejumlah pihak terkait di Ruang Rapat Komisi 4 DPRD Medan, kemarin.
Anggota Komisi 4 DPRD Medan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait parkir berlangganan dengan mengundang sejumlah pihak terkait di Ruang Rapat Komisi 4 DPRD Medan, kemarin.

 

MEDAN, kaldera.id – Anggota Komisi 4 DPRD Medan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait parkir berlangganan dengan mengundang sejumlah pihak terkait di Ruang Rapat Komisi 4 DPRD Medan, kemarin.

RDP dipimpin langsung Ketua Komisi 4 DPRD Medan didampingi sejumlah anggota Komisi 4 lainnya. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah elemen masyarakat yang hadir meminta Perwal No26/2024 sebagai petunjuk pelaksanaan parkir berlangganan itu dicabut atau dibatalkan.

Hanya saja menurut Sub Koordinator Lingkup Dokumentasi dan Informasi Hukum Biro Hukum Kota Medan, Albert Yasokhi Lase, perwal yang diterbitkan tersebut merupakan inisiasi dari Dishub Kota Medan. Tidak perlu sebuah kajian akademik. Parkir berlangganan langsung dieksekusi menjadi produk hukum yang disahkan Walikota Medan Bobby Afif Nasution.

“Itu dari Dishub Kota Medan. Tidak perlu kajian akademik,” ungkapnya yang langsung disambut sorakan masyarakat karena merasa terkejut mendapat jawaban tersebut.

Bahkan, selain tidak melakukan eksaminasi dan memberitahukan rencana penerbitan perwal tersebut pada DPRD Medan, Albert Yasokhi Lase ngotot bahwa regulasi yang tercipta tanpa berlandaskan perda itu tidak dapat dibatalkan kecuali diminta oleh Dishub Kota Medan.

Sementara itu, Lingkar Indonesia menganggap pernyataan Albert Yasokhi Lase itu sangat memalukan dan benar-benar niat untuk menjebak Walikota Medan, Bobby Afif Nasution. Dijelaskannya, tahapan pembuatan perwal bukanlah seperti yang diutarakan perwakilan biro hukum Pemko Medan itu.

“Dishub Kota Medan memiliki hak untuk mengajukan inovasinya yang akan diperkuat melalui sebuah regulasi. Itupun harus melihat benar-benar bahwa aturan baru yang akan dibuat ada termaktub dalam perda di kota itu, jika tidak maka dianggap menyalahi,” ungkap perwakilan dari Lingkar Indonesia.

Dia menuturkan, jika terdapat perda yang sesuai dengan rencana regulasi di buat, maka dinas terkait harus menyerahkan naskah akademiknya kepada Walikota Medan untuk selanjutnya diteruskan kepada biro hukum agar dieksaminasi. Aturan yang telah dieksaminasi ini kemudian diteruskan lagi kepada DPRD Kota Medan.

“Setelah proses ini berjalan dan ada masyarakat yang tidak menerima perwal tersebut, maka DPRD Kota Medan bisa secara langsung meminta perwal ini dibatalkan. Bukan harus menunggu persetujuan dinas terkait,” tegasnya.

“Darimana dia belajar hukum. Suruh dia sekolah lagi. Jangan dijebak-jebaknya Walikota Medan. Menjebak itu,” tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Andryan yang hadir di RDP itu menegaskan, bahwa perwal itu cacat substansi dan prosedur.

Andryan melihat regulasi tersebut tidak sesuai dengan landasan pembentukan serta materi muatannya. Misalnya, pada ketentuan Pasal 4 Perwal 26/2024, menyatakan adanya frasa tentang larangan bagi masyarakat untuk parkir di area yang menjadi area parkir berlangganan. Padahal, Pemko harusnya memberi alternatif secara manual bagi masyarakat yang tidak menggunakan parkir berlangganan.

Apabila merujuk ketentuan perundang-undangan, Perwal tersebut semestinya tidak dapat memuat aturan larangan. Pengaturan larangan serta sanksi pidana tidak boleh diatur dalam aturan turunan. Sebab, pengaturan tersebut hanya diperbolehkan pada tingkatan Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Ia bahkan tidak menemukan sumber pelimpahan kewenangan, dasar hukum yang melatarbelakangi larangan untuk parkir di area parkir berlangganan ke Perwal. Di sinilah aturan tersebut berpotensi melanggar hak warga negara dan tampak tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

“Tidak hanya persoalan pungutan retribusi parkir yang tidak mencerminkan prinsip keadilan di masyarakat, juga menyoal regulasi dalam penerapan retribusi parkir yang berpotensi dicabut karena dinilai cacat secara subtansi dan prosedural,” ungkapnya. (reza)