Faisal Riza, MA
Faisal Riza, MA

Oleh: Faisal Riza, MA

Hampir tak ada keraguan, ketika berbicara mengenai ideologi dan kaderisasi kepartaian, PDI Perjuangan (PDIP) lah jagoannya.

Keistiqomahan (sikap keteguhan diri) partai ini benar menuai hasil bagi partai berlambang banteng moncong putih itu.

Sejak oposisi 2004-2013, partai besutan Megawati Soekarnoputri ini bekerja secara strategis dan taktis. Di mana arah angin sedang berhembus dalam ruang otonomi daerah, mereka memompa kualitas kadernya yang memimpin daerah-daerah di Indonesia seperti di Solo, Blitar, Bantaeng, dan lainnya.

PDIP benar cermat memainkan politik kepemimpinan, tentu saja dibantu amplifikasi oleh media, dari bawah. Mereka menawarkan pengharapan bahwa pemimpin bisa lahir dari bawah, dari daerah, dan pemimpin tidak melulu lahir di pusat pemerintahan negara.

Kasus Jokowi dari Solo adalah contoh dengan nilai A plus, bagaimana mereka mengcreate pemimpin dari arus bawah. Mereka memetik hasil maksimal dan ruling sepanjang dua periode Pemilu dan Pilpres 2014-2019.

Selanjutnya, untuk meneruskan kegemilangan ini mereka mengadakan sekolah calon kepala daerah sebagai usaha meningkatkan kapasitas kadernya sebagai kepala daerah yang menyejahterakan dan dicintai rakyatnya.

Makna lainnya adalah mereka ogah mencaplok kader partai lain atau kandidat non partai untuk dicalonkan dan diusung sebagai kepala daerah. Partai ini tidak mau pemimpin hasil karbitan.

Pada Pilkada 2020 ini platform partai kader itu menghadapi ujian, yaitu uji keteguhan diri. Hal ini bisa saja dianggap sepele tapi bisa juga sangat krusial. Pasalnya anak Jokowi, Gibran Rakabumi dan menantunya Bobby Nasution, hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Masing-masing sebagai Walikota di Solo dan Medan. Ini benar-benar dilematis, antara meneguhkan kaderisasi kepartaian dengan pragmatisme politik elektoral.

Meneguhkan kaderisasi bisa saja tetapi dalam konteks politik lokal di Medan misalnya, PDIP belum pernah merasakan nikmatnya kursi Walikota akibat kadernya kalah pamor dengan kandidat lain, Pilwako Medan 2010 adalah contoh konkrit.

Apa lagi di Pilgubsu, kader tulen Partai ini mengalami hattrick kekalahan secara berturut 2008, 2013, dan 2018.

Kembali ke Medan, sementara kader partai sudah menang besar di pemilu legislatif dan kader lainnya di posisi wakil walikota, Akhyar Nasution. Maka pertanyaannya adalah apakah PDIP sebagai partai terbesar di Kota Medan akan mencalonkan kadernya sebagai Walikota?

Saya berusaha mereka-reka jawabannya, antara lain:

pertama, partai ini akan mungkin mencalonkan kadernya sebagai calon walikota, sebab Akhyar Nasution yang sekarang sebagai Plt Walikota cukup baik performance-nya.

Kredit kerja Akhyar dapat diberikan karena dia berhasil mengisi kekosongan kursi walikota pasca OTT walikota sebelumnya oleh KPK. Kondisi seperti ini bukan hal gampang tetapi Akhyar secara smooth bisa menjalankannya.

Mengusung Akhyar dan koalisi dengan calon lain sebagai calon wakil walikota sama dengan menjaga keistiqomahan platform partai tapi mesti diingat sikap istiqomah bukan syarat utama menang pilkada.

Kedua, PDIP mengambil langkah pragmatisme politik dengan mendukung calon bukan kader partai sebagai walikota. Langkah ini diambil secara realistis dan taktik politik elektoral dengan perhitungan menang.

  1. Calon tersebut adalah Bobby Nasution, menantu Jokowi dan representasi politik milenial. Bobby lebih populer dan penuh pengharapan. Diperkirakan dukungan partai-partai kepadanya akan lebih mudah didapat lewat konsolidasi terpusat, dengan ini juga dia akan mudah menang.

Langkah ketiga, PDIP akan mendukung Bobby dengan menyodorkan kadernya menjadi pasangan calon. langkah ini bukan untuk menyebut partai tidak istiqomah atau tidak teguh diri, but let say this ijtihad politik.
Siapa orang yang akan mendampinginya? tunggu ya tak sholat sunnah dulu, mana tau bisa kasyaf..?

Penulis adalah Pengamat Politik, Dosen UIN Sumatera Utara