Oleh: Fakhrur Rozi
MEDAN, kaldera.id – Pada hari ini, 16 tahun lalu, 29 Agustus 2004, Benny Moerdani wafat. Dua hari sebelumnya dia sempat dibesuk Presiden Kedua RI, Soeharto. Menurut laporan Majalah Tempo, saat itu Soeharto sempat berucap sebuah kalimat. “Kamu memang yang benar Ben. Kalau aku mengikuti nasihatmu, tidak akan seperti ini.”
Beragam respon penulis terima ketika menyebutkan nama Benny Moerdani pada sejumlah orang. Memori tentang sosok bernama lengkap Leonardus Benyamin Moerdani, memang tersimpan sedikit dan cenderung ‘negatif’ di benak penulis. Penulis tak ingin tahu banyak soal sosok ini, sebenarnya. Cukuplah memori yang sedikit itu.
Sampai pada satu malam Juli 2020, penulis membaca artikel dari link majalah.tempo.co dengan judul “Di Pengujung Usia yang Sepi”. Dia Artikel itu rupanya menjadi bagian dari laporan khusus Majalah Tempo Edisi Oktober 2014 berjudul “Benny Moerdani yang Belum Terungkap”.
Artikel ini menarik penulis untuk membaca keseluruhan artikel dalam laporan khusus tersebut. Seolah akan menemukan hal baru jika bisa membaca keseluruhan laporannya. Dengan bantuan toko online, penulis berhasil mendapatkan majalah terbitan 6 Oktober 2014 itu. Benar saja, setelah membacanya banyak temuan baru bagi benak penulis tentang sosok Benny, kelahiran Jawa Tengah, 3 Oktober 1932 ini.
Bertempur di Medan, Berkunjung ke Pesantren Musthfawiyah
Ada beberapa hal yang menarik penulis untuk dicatat dari laporan Majalah Tempo itu. Hal itu berkaitan dengan koneksi Benny Moerdani dengan Sumatera Utara dan Kota Medan dan Sumatera Utara. Soal orang-orang Benny pernah terhubung dengan Jenderal Besar AH Nasution yang saat itu menjabat KSAD. Benny disebut menculik lebih dulu komandannya di RPKAD untuk mengamankan AH Nasution yang kabarnya akan diculik oleh komandannya itu pada 1956.
Pada 17 Maret 1958, Benny ditugaskan AH Nasution untuk bertempur menumpas PRRI di Medan. Dia di bawah kendali Kaharuddin Nasution yang memimpin Operasi Tegas. Benny memimpin Pasukan Kangguru yang berisikan Kompi A RPKAD. Kemudian pada 1965, setelah dipindahkan ke Kostrad oleh Jenderal Ahmad Yani, Benny sempat menjadi Wasintel Komando Tempur di Medan.
Saat bertugas sebagai Kepala BAIS, Moerdani pernah memiliki anak buah bernama Mayjen TNI Mulya Panjaitan. Saat menjabat sebagai Panglima ABRI 1983 – 1988, Benny Moerdani, sering melakukan kunjungan ke pesantren di Indonesia.
Salah satunya adalah Pesantren Musthafwiyah Purba Baru, Mandailing Natal. Kunjungan itu ia lakukan pada 1985. Kunjungan ini dilihat dari laporan Majalah Tempo, diliput oleh Pak Ber (Bersihar Lubis). Entah kenapa, saya ingin membaca tulisan Pak Ber, terutama soal kenangannya saat meliput Benny Moerdani itu. Semoga beliau berkenan menuliskannya.
Soal kesukaan Benny mendekati kelompok Islam di pesantren juga direkam Majalah Tempo. Kata Benny Islam di kalangan pesantren merasa cukup apabila bisa Salat lima kali, melaksanakan Rukun Islam dan naik haji. “Orang yang menjadi politikus di Jakarta hanya menggunakan Islam untuk (kepentingan) politiknya,” kata Benny.
Pembajakan Pesawat Woyla
Keterhubungan Benny Moerdani dengan Medan juga terjadi dalam peristiwa Pembajakan Pesawat Garuda GA 206 Jenis DC 10 Sumatera Woyla pada Maret 1981. Saat itu, Benny turun langsung ke Thailand untuk menyergap para pelaku dan membebaskan sandera pesawat dengan tujuan Jakarta – Palembang – Medan itu.
Para pembajak tewas dalam penyergapan. Para pembajak yang tewas itu, yakni Wendy, Sofyan Effendi, Mahrizal dan Zulfikar.
Keempatnya merupakan warga Kota Medan. Sedangkan satu orang pembajak lagi adalah Abdullah Mulyono. Selain kelima pembajak, Imran M Zein, asal Kota Matsum Medan, yang disebut sebagai otak pelaku di pengadilan, juga dihukum mati pada 1983. Tulisan ini hanya mengumpulkan beberapa hal dari laporan Majalah Tempo dan beberapa sumber lain terkait Benny Moerdani.
Pada 16 tahun lalu, Benny yang menjadi pemimpin pasukan tempur Operasi Naga di Irian Barat, Operasi Seroja di Timor Timur, memimpin mediasi pengakhiran konfrontasi Indonesia – Malaysia lalu disematkan gelar Tan Sri (1966). Benny juga meraih Bintang Jasa Keamanan Nasional dari Korea Selatan (1988), ini wafat. Dia disebut Majalah Tempo, pergi dalam sunyi. Ia mengalami hal yang dirasakan banyak orang-orang loyal tapi bukan tipe “Asal Bapak Senang”.(*)