JAKARTA, kaldera.id – Guru Besar Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Prof Ramlan Surbakti, PhD menilai keputusan KPU dalam melaksanakan Putusan PHPU Mahkamah Konstitusi (MK) No 154/2019 tidak bisa digugat. Ketika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memproses gugatan terhadap KPU yang sesungguhnya sedang menjalankan kewajiban konstitusionalnya, maka proses tersebut merupakan tindakan di luar jurisdiksi dan kewenangannya.

“Tindakan menerima dan mempertimbangkan pengaduan yang berkaitan dengan perselisihan hasil pemilu merupakan tindakan DKPP diluar jurisdiksi tugas dan kewenangannya,” kata Ramlan dalam keterangan tertulisnya sebagai ahli dalam mengeksaminasi Putusan DKPP No. 317/2019 yang diterima redaksi, Kamis (16/7/2020).

Ramlan Surbakti merupakan salah satu guru besar yang turut memberikan eksaminasi atas Putusan DKPP No 317/2019 dan ditujukan secara resmi sebagai keterangan ahli dalam Perkara No 82/G/PTUN.JKT yang dimohonkan oleh Evi Novida Ginting Manik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Seperti diketahui, mantan Anggota KPU RI periode 2017-2022 itu diberhentikan melalui Keppres No 34/P/2020. Keppres tersebut merupakan tindaklanjut dari Putusan DKPP No. 317/2019.

Ramlan mengatakan, sebagai unsur penyelenggara Pemilu, DKPP wajib menunjukkan sikap respect for the law, yaitu hanya melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewenanganya sesuai jurisdiksinya menurut UU No 7/2017 tentang Pemilu.

Serta tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewenangan lembaga lain, yaitu MK. Bila DKPP dan Bawaslu menangani perselisihan hasil Pemilu, yang berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjadi tugas dan kewenangan MK, maka baik DKPP maupun Bawaslu secara telanjang melanggar konstitusi. “Sikap dan tindakan seperti itu tidak menunjukkan sikap respect for the law,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Ketua KPU Periode 2004-2007 itu.

Alasan DKPP Tak Tepat

Menurutnya, alasan DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada ketua dan 4 anggota KPU RI serta memberhentikan seorang anggota KPU RI (Evi Novida Ginting) karena mengabaikan putusan Bawaslu tidak tepat. Sebab apa yang dilakukan KPU RI justru semata-mata untuk mematuhi amar Putusan MK No 154/2019.

Sehingga pengaduan tersebut seharusnya bukan lagi pelanggaran administrasi pemilu yang ditangani Bawaslu, melainkan perselisihan hasil pemilu yang sesungguhnya menjadi kewenangan MK dalam menyelesaikannya. Apalagi kasusnya tersebut telah dibawa ke MK dan telah diputuskan.

Ramlan juga menilai DKPP dalam mengambil keputusan tidak menyebutkan secara spesifik bukti-bukti tindakan KPU yang melanggar Pasal 6 ayat(2) dan ayat (3), Pasal 10 huruf a dan huruf d, Pasal 11 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dan pasal 15 huruf d, hurud e dan huruf f Peraturan DKPP No 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggra Pemilu.

Lalu tidak mempertimbangkan alasan dan bukti yang diajukan KPU yang sepenuhnya menjalankan Putusan MK tentang hasil pemilu khususnya putusan tentang perselisihan hasil pemilu Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat. “DKPP tidak memberikan tanggapan sama sekali mengenai tindakan KPU yang hanya mematuhi Putusan MK bila menyangkut perselisihan hasil pemilu,” ujarnya.

Ramlan menegaskan kembali bahwa perselisihan hasil pemilu anggota DPRD Kalimantan Barat sudah diselesaikan dengan Putusan MK No 154/2019. Putusan tersebut bersifat final dan semua pihak harus menerima dan mematuhinya. Keputusan KPU untuk melaksanakan putusan MK tidak dapat digugat.

Ketika DKPP tetap memproses gugatan, maka lembaga tersebut dianggap telah bertindak diluar jurusdiksi dan melanggar Pasal 11 prinsip berkepastian hukum huruf b, Peraturan DKPP No 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. (rel/finta)