JAKARTA, kaldera.id- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan ada kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen yang akan diberlakukan 1 April. Regulasi ini menurut Komisi XI perlu dikaji ulang, karena beberapa argumen, seperti belum ada aturan teknis dan tren kenaikan komoditas.
Hal itu disampaikan anggota Komisi XI DPR RI Gus Irawan Pasaribu, Kamis (10/3/2022). Kenaikan PPN 11 persen memang bisa dipahami untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. Ketentuan kenaikan tarif PPN 11 persen diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a UU PPN. “Namun, melihat kondisi terkini, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang pemberlakukan ketentuan tersebut,” kata dia.
Ada sejumlah alasan yang mendukung penundaan pemberlakukan kenaikan tarif PPN. Pertama, hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan aturan teknis. Padahal, aturan teknis ini penting sebagai pedoman pelaksanaan pemberlakukan tarif PPN 11 persen. Aturan teknis ini butuh sosialisasi bila sudah diterbitkan. Namun, saat ini tersisa beberapa hari menuju 1 April 2022. Terlalu buru-buru untuk membuat aturan teknis sekaligus menyosialisasikannya.
Kedua, lanjut ketua DPD Gerindra Sumut ini, kondisi perekomian nasional yang terdampak penyebaran varian omicron, dan kenaikan komoditas global maupun energi, menjadikan situasi saat ini tidak ideal, karena berdampak pada ekonomi rakyat. “Sejak memasuki 2022, ekonomi rakyat mulai terdesak oleh kenaikan sejumlah produk, antara lain minyak goreng, kedelai, daging, BBM non- subsidi dan yang lainnya,” kata Gus Irawan.
Bahkan, katanya, keadaan kian diperparah dengan terjadinya perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga sejumlah komoditas global makin melejit tinggi. Ketiga, kinerja penerimaan perpajakan 2022 berpeluang melanjutkan capaian positif 2021. Realiasasi penerimaan pajak 2021 mengakhiri tradisi shortfall pajak (penerimaan pajak di bawah target yang ditetapkan) selama 12 tahun.
“Penerimaan pajak di tahun 2021 mencapai Rp1.277,5 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 103,9 persen dari target penerimaan pajak dalam APBN 2021. Hal tersebut didorong oleh meningkatkanya ekspor impor dampak dari kenaikan komoditas global dan energi,” paparnya, seraya menjelaskan, memasuki 2022 harga komoditas global dan energi belum menunjukkan penurunan. Bahkan makin melejit akibat dampak perang Rusia-Ukraina.
Harga minyak Brent mencapai 131 dolar AS per barel. Sehingga, pemerintah bisa mendapatkan penerimaan negara dari kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) dan sejumlah komoditas lainnya. Argumen keempat, April 2022 ini sudah memasuki Ramadan, yang kemudian disusul dengan perayaan Idul Fitri pada Mei 2022.
“Memasuki bulan suci, biasanya masyarakat meningkatkan konsumsinya. Bila akan dikenakan PPN 11 persen, maka akan membebani dan sekaligus bisa menurunkan daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi masyarakat pada Ramadhan dan Idul Fitri menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.(rel/arn)