Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022.
Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022.

 

MEDAN, kaldera.id – Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia mengajukan permohonan sebagai pihak terkait terhadap Permohonan Pengujian Materil Undang-Undang (UU) Perkawinan dalam Perkara Pengujian UU Nomor 24/PUU-XX/2022.

Permohonan pihak terkait diajukan langsung oleh Ruli Margianto dan Anggi Aribowo sebagai Ketua Yayasan PAHAM Indonesia.

Koordinator Kuasa Hukum PAHAM Indonesia, Busyraa Nasution, mengemukakan beberapa alasan menolak Permohonan Pengujian Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Beberapa alasan menolak Permohonan Pengujian Undang–Undang

Pertama, bahwa pemohon tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonannya.

Menurut Busyraa Nasution, Pasal 2 ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Karena tidak ada larangan pemohon untuk melangsungkan perkawinan dan tidak ada diskriminasi apapun dalam melakukan tindakan hukum,” ujarnya.

Menurut dia, dengan adanya permohonan ini justru pemohon sendirilah yang sudah melanggar aturan agama dan peraturan perundang–undangan bukan sebaliknya.

Kedua, PAHAM Indonesia memahami bahwa Hak Asasi Manusia Universal tidak dapat dipaksakan keberlakuannya jika bertentangan dengan Hak Asasi Manusia Partikular, dimana nilai-nilainya untuk bangsa Indonesia, harus berlandaskan ajaran Agama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, menurut Busyraa Nasution, PAHAM Indonesia selama ini komitmen menghargai keyakinan dan ajaran agama-agama di Indonesia.

“Tetapi tidak mentolerir percampuran ajaran agama yang akan menimbulkan banyak permasalahan dikemudian hari, selain secara keyakinan juga menentang hukum Tuhan terutama bagi yang beragama Islam,” katanya.

Dimana, menurut dia, jumlah Warga Negara di Indonesia yang beragama Islam adalah mayoritas dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.

“Yang apabila dikabulkan maka akan terjadi kekacauan dalam konsep dan tujuan berkeluarga pada umat beragama,” ujarnya.

“Hal yang sangat tidak di inginkan oleh kami, karena akan menghancurkan tatanan kehidupan beragama di Indonesia yang sudah diakui di dalam Pancasila sebagai ideologi bangsa,” katanya menambahkan.

 

Perwujudan hak konstitusional

Keempat, lanjut dia, bahwa pengaturan Perkawinan dalam satu Undang-Undang merupakan bentuk perwujudan hak konstitusional Warga Negara yang harus dilindungi dan dihormati oleh semua Warga Negara dan penduduk Indonesia agar tercapai ketertiban hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

“Termasuk kewajiban untuk menghormati keyakinan orang lain, karenanya sudah sepantasnya pengaturan mengenai Perkawinan ini, tidak berbenturan dengan keyakinan antar umat beragama dan tidak pula menentang ajaran agamanya sendiri,” katanya.

Maka berdasarkan alasan–alasan di atas yang telah dikemukakan, PAHAM Indonesia mengajukan sebagai Pihak Terkait di MK memohonkan kepada yang Mulia majelis Hakim MK untuk menolak Permohonan Para Pemohon secara keseluruhan.

“Demi terciptanya kestabilitas toleransi antar umat beragama dan menjamin hak Konstitusional umat beragama demi menjaga ketertiban umum di negeri ini,” ujar Busyraa Nasution. (tribunnews)