Anggota Komis XI DPR RI Ustad Hidayatullah (dua kanan), Yura A Djalins, Wakil Kepala BI Sumut (dua kiri) dan Naslindo Sirait, Kabiro Perekonomian Pemprovsu (paling kanan) saat berbicara di FGD bertema mengendalikan inflasi Sumut dari sisi distribusi dan konsumsi melalui TPID.
Anggota Komis XI DPR RI Ustad Hidayatullah (dua kanan), Yura A Djalins, Wakil Kepala BI Sumut (dua kiri) dan Naslindo Sirait, Kabiro Perekonomian Pemprovsu (paling kanan) saat berbicara di FGD bertema mengendalikan inflasi Sumut dari sisi distribusi dan konsumsi melalui TPID.

 

MEDAN, kaldera.id- Anggota Komisi XI DPR RI membidangi keuangan dan perbankan Ustad Hidayatullah mengungkapkan kenaikan harga sebagai dorongan dari inflasi lebih banyak memukul masyarakat miskin. “Kalau yang kaya itu saya lihat tidak terlalu terpengaruh.”

Anggota DPR RI Fraksi PKS dari daerah pemilihan Sumut itu berbicara di hadapan 50 peserta focus group discussion bertema mengendalikan inflasi Sumut dari sisi distribusi dan konsumsi melalui TPID yang digelar Bank Indonesia dan Komisi XI di Santika Hotel, Medan, Kamis (16/3/2023).

Selain Hidayatullah sebagai pembicara utama, hadir pula dari Bank Indonesia diwakili Yura Adalin Djalins, Pemprovsu diwakili Kepala Biro Perekonomian Dr. Naslindo Sirait, Anggota DPRD Sumut Komisi B Ahmad Hadian, mantan anggota DPRD Sumut Sigit Pramono Asri. Kemudian peserta FGD juga menghadirkan Kabag Perekonomian Setda Pemko Medan Regen, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemkab Deliserdang, praktisi dan akademisi perguruan tinggi yang ada di Medan.

Hidayatullah mengatakan inflasi sebenarnya tidak signifikan mempengaruhi golongan menengah atas. “Tapi akan sangat mengimbas warga kelas bawah. Karena sepanjang pandemi covid pun kita lihat jumlah kekayaan golongan atas terus bertambah,” ungkapnya.

Dia mengaku prihatin pada 2022 ekonomi Indonesia sudah tumbuh positif tapi di saat bersamaan terjadi anomali dengan naiknya jumlah orang miskin. “Pertumbuhan itu justru menambah orang miskin. Penyebabnya dimana,” kata dia.

Maka Hidayatullah mengatakan bisa saja karena dorongan inflasi yang terus bergejala tinggi. “Di reses Januari lalu, saya ketemu masyarakat. Mereka bercerita kalau harga sudah naik. Ini sudah naik Pak Ustad. Awal 2023 sudah kita rasakan kenaikan-kenaikan harga,” jelasnya.

Menurutnya, indikator makroekonomi terkait inflasi 2023 dipatok pada angka 3 persen plus minus satu persen. “Kita harus mencari solusi ideal dengan kondisi yang terjadi. Karena inflasi kita masih di angka 5 persen lebih secara nasional. Bahkan Sumut pun lebih tinggi lagi.

Pada akhirnya, menurut dia, mau tidak mau ini akan jadi masalah. “Apa yang harus kita lakukan dengan kondisi ini. Karena pasti mengimbas ke Medan dan Deliserdang,” kata Ustad Hidayatullah.

Dia menambahkan pertumbuhan PDB nasional dan PDRB daerah harusnya berkualitas. “Kenaikan harga yang terjadi sesungguhnya dinikmati oleh produsen akhir. Mereka ini yang menciptakan oligarki. Para konglomerat. Akhirnya muara kenaikan harga itu dinikmati oleh oligarki. Mereka yang endorse. Padahal kita mau seluruh masyarakat Indonesia menikmati semua aktivitas ekonomi yang menguntungkan,” jelasnya.

Sementara itu Yura A Djalins, wakil kepala BI Sumatera Utara, mengungkakan penyebab utama inflasi di Sumut terutama harga komoditas pangan. “Di Sumatera Utara sendiri angka inflasi lebih tinggi daripada nasional yaitu 5,88 persen.”

Pergerakan inflasi di Sumatera Utara pergerakannya berbanding lurus dengan kenaikan harga cabai, kata dia. “Proyeksi inflasi 2023 akan lebih rendah dengan syarat peningkatan produksi diluar faktor faktor lainnya. Tingginya nilai tukar yang disebabkan masih tergantungnya kita terhadap impor untuk produksi baik sebagai barang modal maupun barang baku ikut mempengaruhi.”

Strategi yang dilakukan untuk pengendalian inflasi pangan adalah dengan brigade panen, melakukan distribusi alalt produksi, operasi pasar dan fasilitasi, jelasnya. Dari Pemprovsu Kabiro Perekonomian Naslindo Sirait mengatakan penyumbang inflasi terbesar di Sumatera Utara adalah beras yaitu 0,49 persen. “ Artinya kenaikan sedikit saja sudah akan memberikan kenaikan yang besar.”

Ditemukan data bahwa pasokan telur di Sumatera Utara selalu surplus, namun faktanya 71 persen telur disini dijual ke berbagai daerah sehingga hanya sekitar 29 persen yang tersisa, jelasnya. “Untuk jangka pendek dan jangka panjang, pengendalian inflasi dilakukan dengan pasar murah dan monitoring. Lalu fasilitasi petani dengan pupuk organik, subtitusi pakan pelet untuk ternak serta kerjasama dengan daerah lain untuk memenuhi pasok lokal.”

Satu topik yang cukup menarik adalah ketika Regen, dari Pemko Medan menyampaikan lemahnya TPID (tim pengendali inflasi daerah). “Pak Hidayatullah, ini sebenarnya TPID ini lemah sekali. Karena kita itu hanya pemantau. Bukan pengendali. Kita tidak bisa melakukan tindakan apapun. Jadi kalau ada yang menaikkan harga di pasar kita tak bisa melakukan apa-apa. Jadi tolong dari sisi regulasi disampaikan ke pusat agar jadi perhatian,” katanya.

Mendengar hal itu Ustad Hidayatullah menjanjikan akan membawa aspirasi itu ke pusat. “Sama misalnya dengan penerapan tim pengendali inflasi di Malaysia. Ketika diketahui ada kedai menaikkan harga bisa ditutup.” (red)