Purjatian Azhar
Purjatian Azhar

Oleh: Purjatian Azhar

MEDAN, kaldera.id – Gegap gempita pesta olahraga terbesar di muka bumi baru saja selesai. Paris menjadi tuan rumah penyelenggara, meski sempat terjadi kotroversi diawal pembukaan, namun tidak mengurangi kemeriahan dan kemewahan event empat tahunan tersebut. Indonesia sendiri mengirimkan 29 atlet yang ikut berlaga di event tersebut, mulai dari bulutangkis, atletik, angkat besi, renang, panahan, panjat tebing, selancar ombak, judo, menembak, hingga senam artistik. Mereka semua telah melewati berbagai kualifikasi yang sangat ketat sehingga dinyatakan layak dan dapat ikut bertanding di olimpiade.

Seperti olimpiade-olimpiade sebelumnya, Indonesia selalu menargetkan medali emas di sektor bulutangkis. Tentu bukan tanpa alasan, sebab Indonesia sendiri memiliki tradisi yang cukup baik dalam meraih medali emas di setiap olimpiade. Sejak olimpiade 1992 di Barcelona yang kala itu indonesia mengawinkan gelar tunggal putra dan putri yang diraih oleh Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti hingga pagelaran olimpiade berikutnya Indonesia selalu mendapatkan emas. Sempat terhenti di olimpiade London 2012 dimana Indonesia tanpa medali di sektor bulutangkis, kala itu China menyapu bersih semua sektor untuk meraih medali emas.
Edisi olimpiade berikutnya di Rio de Janeiro 2016 pasangan ganda campuran Indonesia Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir berhasi meraih emas dengan mengandaskan perlawanan pasangan Malaysia Chan Peng Soon dan Goh Liu Ying. Begitu juga di olimpiade Tokyo 2020, pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polii dan Apriyani Rahayu sukses menyumbangkan emas dengan mengandaskan perlawanan pasangan China Chen Qingchen dan Jiay Yifan, tidak hanya sampai disitu, tunggal putra Indonesia Anthony Sinisuka Ginting juga berhasil menyabet medali perunggu.

Nah, di olimpiade Paris 2024 Indonesia mengirimkan 9 pemain dari 5 nomor, mereka adalah Anthony Sinisuka Ginting, Jonatan Christie (Tunggal Putra), Gregoria Mariska Tunjung (Tunggal Putri), Fajar Alfian-Muhammad Rian Ardianto (Ganda Putra), Apriyani Rahayu-Siti Fadila Silva Ramadhanti (Ganda Putri) dan Rinov Rivaldy-Pitha Haningtyas Mentari (Ganda Campuran).

Inkosistensi Performa

Untuk pertamakalinya dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di Olimpiade tidak meloloskan tunggal putra di fase Knock out. Baik ginting maupun jojo kandas di fase group. Ini tentu saja menjadi catatan buruk bagi dunia bulutangkis Indonesia. Kedua tunggal putra Indonesia tidak mampu berbuat banyak. padahal, Ginting sempat menyabet medali perunggu di olimpiade 2020 Tokyo, tapi sayang, Ginting memble dan gagal total, kom patriot nya di tunggal putra jojo juga sama, kandas dan tidak mampu berbuat banyak.
Lantas, mengapa kedua tunggal putra terbaik Indonesia ini kalah dan gagal di fase knock-out? Tentu banyak analisa yang bisa dilihat, mulai dari persoalan teknis maupun non teknis. Secara sederhana, kedua tunggal putra Indonesia bukanlah pemain dengan kualitas kaleng-kaleng, keduanya berada di peringkat 10 besar rangking BWF. Artinya secara kualitas rangking harusnya mereka bisa berbuat banyak dan lebih untuk bisa bersaing dengan pebulutangkis dari negara lain. Tapi nyatanya, mereka harus pulang lebih awal karena gagal melaju kebabak berikutnya.

Selain itu soal mentalitas dan daya juang saat bertanding juga menjadi masalah bagi kedua tunggal putra ini. mungkin bisa dimaklumi, sebab tekanan dan atmosfer bertanding di olimpiade berbeda dengan tournament-tournament super series yang sering mereka ikuti. Hal lain konsistensi mereka saat bertanding juga tidak stabil.
Selain sektor tunggal putra, harapan besar untuk mendapatkan emas biasanya lahir dari sektor ganda putra. Terakhir pasangan ganda putra meraih medali emas di olimpiade Beijing 2008, kala itu pasangan Markis Kido-Hendra Setiawan berhasil mengalahkan pasangan andalan tuan rumah Cai Yun-Fu Heifeng.Namun, di Paris 2024, pasangan ganda putra Indonesia Fajar-Rian juga tidak bisa berbuat banyak. digadang-gadang bakal mampu membawa medali naum langkah mereka justru terhenti di perempat final oleh pasangan asal China Liang Wei Keng-Wang Chang, alhasil mereka pulang tanpa medali.
Begitu juga di sektor ganda putri dan ganda campuran. Pasangan Apriyani-Fadila juga gagal ke fase knock-out, mereka tidak mampu berbuat banyak. pada hal bila melihat empat tahun yang lalu saat olimpiade di Tokyo, Apriyani sukses membawa pulang medali emas. Namun, kala itu Apri masih berpasangan dengan ganda putri senior Gresia Polii.
Di sektor ganda campuran, terakhir mendapatakan emas di Olimpiade Rio de Jeneiro 2016, kala itu owi-butet berhasil mengalahkan pasangan ganda campuran asal Malaysia dengan dua set langsung. Namun, Rinov-Pitha juga tidak bisa berbuat banyak, mereka kalah dan harus pulang lebih awal.

Kejutan justru terjadi di nomer tunggal Putri, Gregoria Mariska Tunjung (Read: Jorji) yang tidak diunggulkan justru melesat hingga ke babak semifinal. Sayang, di semifinal Jorji harus mengakui ketangguhan pemain asal Korea Selatan An See Young dengan permainan yang cukup ketat selama 3 set. An See Young sendiri akhirnya berhasil meraih emas setelah di final mengalahkan He Bingjao dari China.

Lawan Jorji di perebutan tempat ketiga harusnya adalah Carolina Marin, Peraih medali emas di Rio de Jeneiro, namun karena cidera saat menghadapi He Bingjao di semifinal, akhirnya Marin tidak bisa melanjutkan pertandingan melawan Jorji. Tentu hal ini secara otomatis memberikan keuntungan untuk Jorji, sebab tanpa bertanding, Jorji otomatis mendapatkan peringkat ketiga dan berhak membawa pulang medali perunggu.

Evaluasi Mendalam

Buntut dari kegagalan tim bulutangkis meraih medali emas di olimpiade Paris 2024 adalah desakan untuk mundurnya ketua PBSI. Tentu PBSI sebagai lembaga yang menaungi Bulutangkis Indonesia harus bertanggung jawab atas hasil buruk ini. harus ada perubahan yang mengakar dengan upaya memperbaiki sistem yang ada di PBSI, atau dengan kata lain reformasi birokrasi.

Selain itu persaingan antar pemain semakin ketat. Banyak sekali pelatih-pelatih Indonesia juga yang melatih di negara-negara lain. Otomatis secara peningkatan teknik, peningkatan strateginya juga semakin signifikan. Kemudian perkembangan sport Science juga tidak boleh dilupakan, negara-negara lain juga berkembang dengan sangat baik.
legenda bulu tangkis Indonesia Richard Mainaky yang sempat sukses membawa 6 kali tim ke olimpiade menilai, faktor penyebab hasil tim bulu tangkis Indonesia di Olimpiade Paris 2024 yang belum sesuai harapan, karena kurangnya persiapan jangka panjang yang dilakukan PBSI. Richard menilai langkah PBSI memang sudah bagus dengan membentuk tim Ad Hock menjelang Olimpiade Paris 2024. Namun demikian, ia melihat persiapannya terlalu pendek sekali dan mendesak. Menurutnya harus dilakukan persiapan jangka panjang menjelang olimpiade berdasarkan pengalaman nya yang telah membawa tim Indonesia sebanyak 6 kali di olimpade (Liputan6).

Richard menegaskan, seharusnya PBSI sudah tahu sejak satu atau dua tahun bahwa pemain mana saja yang akan dipersiapkan ke podium tertinggi olahraga tingkat dunia itu. Olimpiade bukanlah seperti persiapan All England dan super series. Sebab olimpiade itu adalah prestasi sejarah tertinggi bagi para atlet atau olahragawan di bidang olahraga, karena itu harus dipersiapkan jangka panjang dan serius.

Richard mengaku kurang setuju jika ada yang menyebut hasil yang diraih tim bulutangkis Indonesia di Olimpiade Paris 2024 kurang maksimal akibat alasan cuaca di negara tersebut. Apapun alasannya dan menyalahkan faktor alam sekitar, jelas tidak terima. Sebab saat berada di Paris para pemain sudah dilakukan training camp, sehingga mereka sudah bisa beradaptasi.

Kedepan PBSI harus lebih serius untuk mempersiapkan atlet bulutangkis yang akan bermain dan berlaga di ajang olimpiade, tidak terburu-buru dan justru jauh dari hasil yang diharapkan. Apalagi nanti bisa mendapatkan hujatan dari netizen Indonesia.

Penulis adalah Dosen Sosiologi Agama UIN Sumatera Utara Medan