Armin Nasution
Armin Nasution

 

 

Oleh Armin Nasution

MEDAN, kaldera.id – TULISAN ini akan dimulai dengan tiga cerita. Kejadiannya di Jepang, seorang mahasiswa yang sedang mengambil doktor di negeri matahari terbit itu sedang menarik uang di ATM. Lalu kemudian bus yang ditunggunya datang, karena buru-buru dia akhirnya meninggalkan lokasi tersebut. Kemudian masuk mahasiswa Jepang, yang juga ingin menarik uang.

Kaget, dia lihat ada uang yang sudah ditarik tapi tidak diambil pemiliknya. Lantas dia berinisiatif menghubungi bank penerbit ATM tersebut, melaporkan ada sejumlah uang ketinggalan pada mesin penarik di jam dan lokasi yang tepat. Itulah karakter. Kalau di Indonesia si penemu akan mengambilnya sambil bilang: Alhamdulillah terimakasih ya Tuhan, ternyata ada saja jalan kemudahan kau berikan untukku. Semoga rezeki ini bermanfaat dan kelak ada lagi tambahannya.

Prof. Syawal Gultom, ketua senat Universitas Negeri Medan menceritakan hal itu di hadapan mahasiswa FE Unimed Selasa lalu saat memberikan materi pada pembinaan karakter mahasiswa FE 2024. Pemantik diskusinya menarik. Karena karakter tak hanya terkait mahasiswa tapi juga dosen hingga ke rektor.

Cerita kedua, seorang mahasiswa bisnis digital FE bertanya ke Prof. Syawal. Dia melihat perkelahian mahasiswa antara FIK Unimed dengan Fak. Teknik Unimed adalah salah satu bentuk kegagalan universitas membina karakter mahasiswanya yang disebut sebagai the caracther building university. Apa jawaban Prof. Syawal Gultom. “Ya itu kegagalan kita semua. Kegagalan ketua senat, kegagalan rektor, kegagalan dekan, kegagalan dosen dan kita semua. Karena aneh itu mereka yang berkelahi tapi mobil dan bangunan dirusak. Kalau memang hebat, andai mau disebut hebat kan main satu lawan satu biar jantan,” kata Prof. Syawal yang disambut riuh tepukan mahasiswa.

Menurutnya, itu kegagalan. Tapi kegagalan bukanlah kesalahan dan kejahatan. Yang pasti hal seperti itu jangan terulang, katanya. Cerita ketiga, seorang mahasiswa bertanya tetang dosen yang tidak tepat waktu, tidak disiplin bahkan membiarkan mahasiswanya menunggu. Di sini Prof. Syawal Gultom langsung menjawab tidak ada toleransi untuk dosen seperti itu, kalau bisa nanti dosen seperti didata dikumpulkan semua. Harusnya kalau tidak datang tetap menghubungi mahasiswa.

Tiga cerita itu adalah dasar tulisan ini. Walau sebenarnya karena saya duduk di dekat mahasiswa banyak juga bisik-bisik terkait keluhan mereka tentang dosen. Tapi baiklah, saat memulai presentasi Prof. Syawal langsung mengutip salah satu tokoh Amerika yang populer mengatakan if you lose money you lose nothing, if you lose health you lose something but if you lose character you lose everything.

Kehilangan uang atau kesehatan tak seberapa. Tapi jika manusia kehilangan karakter, hilanglah semuanya. Manusia diberi akal sedangkan hewan tidak. Jadi manusia ini seperti hewan yang diberi akal. Jika akalnya hilang dia akan jadi hewan.

Karakter itu mencakup dispilin, jujur, ramah, santun, pemaaf, hormat, respek kepada sesama, menghargai yang lebih tua, adalah bagian dari pembinaan karakter. Nah Unimed menjadi satu-satunya kampus di Indonesia dengan tagline didikan karakter paling kuat. Apalagi tujuan pendidikan nasional mengeksplorasi tanggungjawab. Bertanggungjawab dan demokratis merupakan tujuan pendidikan nasional. Salah satu bentuk karakter paling menonjol dari negara maju seperti Finlandia adalah kejujuran.

Menurut Prof. Syawal Gultom, negara tersebut mendorong kejujuran sebagai kunci utama pembangunan. Hingga kemudian dalam lima tahun mereka menjadi negara maju. Di sana ada orang yang memotivasi untuk bersama-sama menjadi jujur kemudian membentuk komunitas. Setelahnya hidup bertetangga untuk sama-sama jadi orang jujur. Di sekolah pun kejujuran paling penting. Indonesia bisa menjadi maju kalau semua generasinya terutama mahasiswa mengutamakan kejujuran.

Prof. Syawal Gultom menceritakan dia pernah mengawas ujian selevel SMA di Malaysia dan satupun tidak ada yang nyontek. Bahkan dia sampai ditegur pihak sekolah karena siswa di Malaysia tak perlu diawasi karena mereka akan jujur. Betul memang, semua mengerjakan ujian tanpa bantuan siapapun. Maka satu kata kuncinya adalah kejujuran merupakan modal utama bernegara sehingga hadir generasi yang berkarakter.

Generasi berkarakter kelak akan menjadi pemimpin. Karena karakter dan kepemimpinan itu sangat dekat. Seseorang tak bisa memimpin jika tak punya karakter. Lalu apa yang salah dalam pendidikan karakter? Prof. Syawal menjawab jangan pernah seorang pemimpin menyuruh kalau dia tidak mengerjakan dan mencontohkan. Tidak akan ada generasi jujur kalau pemimpinnya tidak jujur.

Dosen tidak bisa berharap mahasiswanya ramah, santun, tanggungjawab, jujur, kalau tidak bisa mencontohkan. Sebenarnya di forum ini Prof. Syawal Gultom seperti menelanjangi kita semua. Termasuk tentang ujian skripsi yang semua diluluskan serta tata kelola yang terlalu administratif. “Masa iya selevel profesor pun masih harus absen. Atau mahasiswa datang karena takut diabsen.” Padahal di kampus luar negeri mahasiswanya datang dengan kesadaran sendiri bukan karena takut absen.

Maka sebaik-baik pemimpin itu adalah yang bisa dicontoh dan memberi teladan. Pemimpin yang adil itu adalah sumber kebahagiaan. Apalagi jika karakter adalah sikap, maka untuk menilainya sangat sulit. Karena orang lain-lah yang akan memberi poin. Saya tidak bisa mengaku saya jujur, disiplin, tanggungjawab, karena orang lainlah yang memberi penilaian itu, kata Prof. Syawal.

Untuk Indonesia emas 2045 sekaligus sebagai dorongan pembangunan berkelanjutan maka harus ada pendidikan yang berakrakter. Setidaknya 113 juta kaum terdidik di 2045 menjadi tonggak Indonesia emas. Jangan sampai negara ini tertinggal karena kualitas SDM dan inovasi kita masih di rangking 60-an atau dibawah negara-negara tetangga termasuk vietnam, kata Prof. Syawal Gultom.

Sejujurnya apa yang disampaikan Prof. Syawal hari itu adalah pembelajaran. Siapapun yang mendengar pasti akan merasa tamparan di pipi kiri-kanan sangat keras. Karena seperti membuka semua sumbatan antara aspirasi mahasiswa yang selama ini cuma menggerutu di belakang dosen, atau bisik-bisik sebagian dosen yang tak berani mengkritisi pimpinannya. Cuma memang acara ini baru sebatas pendidikan karakter mahasiswa.

Ke depan perlu juga difikirkan dan dirumuskan pendidikan karakter untuk dosen dan fungsionarisnya. Siapa tahu karena sudah terlalu lama kita jadi dosen lupa membudayakan manusia berkarakter. Wajar kalau kemudian mahasiswa pun krisis figur keteladanan.

Kadang kita lupa, kita ini dosen. Lupa kalau kita ini pendidik. Untuk merespon chat wa saja kita ‘ogah’ dengan alasan sibuk dan lain-lain. Itu contoh kecil saja. Belum lagi yang berhubungan dengan amanah, jabatan, keuangan, dll. Maka apa yang disampaikan Prof. Syawal itu terbukti benar bahwa kita kehilangan ‘figur keteladanan’. Siapa yang bisa kita tiru? Padahal seringkali ketika memimpinlah kita diuji. Kita lupa, bahwa periode kepemimpinan itu pun ada masanya. Lima tahun misalnya atau kalau jadi presiden 10 tahun saja. Sehingga sering terdengar kalimat: mentang-mentang punya jabatan sudah sesukanya.

Semua yang disampaikan Prof. Syawal Gultom di acara itu adalah kebenaran. Setelah paparan, saya menjumpainya. Karena memang ada surat permintaan kesediaan menerima penghargaan dari Serikat Penerbit Pers (SPS) Sumut bahwa seyogyangan Prof. Syawal adalah penerima anugrah sahabat pers 2024 sekaligus harusnya mengisi materi dialog publik dengan thema pers dalam pandangan akademik. Hanya saja di tanggal dan hari yang sama dia harus ke Havard University AS sehingga tidak bisa berhadir.

Dan tulisan ini saya selesaikan dan kirimkan dari pinggir-pinggir kaki lima Masjidil Harom, Mekkah dengan merewind kembali semua yang disampaikan penerima tokoh pendidikan nasional 2023 tersebut. Semoga jika di negara ini kita kehilangan teladan, harapan masih ada setidaknya di kampus Unimed dan di FE atau di komunitas-komunitas kecil kita bahwa keteladanan itu tetap ada.