183 Orang Tewas Dibunuh Aparat Myanmar, WNI Ditampung di Sekolah RI Yangon

Sebanyak 183 orang dilaporkan tewas dibunuh aparat keamanan Myanmar sejak kudeta militer berlangsung pada 1 Februari lalu.
Sebanyak 183 orang dilaporkan tewas dibunuh aparat keamanan Myanmar sejak kudeta militer berlangsung pada 1 Februari lalu.

MEDAN, kaldera.id – Sebanyak 183 orang dilaporkan tewas dibunuh aparat keamanan Myanmar sejak kudeta militer berlangsung pada 1 Februari lalu.

Lembaga pemantau hak asasi manusia, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), melaporkan pasukan keamanan Myanmar semakin brutal menindak demonstran menyusul pemberontakan anti-kudeta yang terus meluas di seluruh penjuru negara Asia Tenggara itu.

Aparat keamanan dilaporkan menembak mati sedikitnya 20 pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Senin (15/3/2021). Demonstrasi terus berlangsung di Mandalay dan pusat Kota Myingyan serta Aunglan.

Seorang jurnalis di Mandalay mengatakan satu orang ditembak mati di sana setelah protes besar berlangsung dengan damai.

Saksi mata dan wartawan lainnya juga melaporkan personel kepolisian tak segan melontarkan tembakan ke arah para demonstran.

“Seorang gadis tertembak di kepala dan seorang anak laki-laki tertembak di wajahnya. Saya sekarang sedang bersembunyi,” kata remaja 18 tahun yang ikut berdemo di Myingyan kepada Reuters melalui telepon.

Protes anti-kudeta terus berlangsung

Portal berita Myanmar Now melaporkan protes anti-kudeta terus berlangsung di seluruh negeri pada Senin, termasuk di distrik Yangon, Hlaingthaya, tempat kerusuhan dan pembakaran puluhan pabrik China terjadi sehari sebelumnya.

AAPP mengatakan setidaknya 74 orang tewas pada Minggu (14/3/2021). Dengan begitu, sejauh ini total 183 orang telah terbunuh oleh pasukan keamanan.

Pemadaman internet juga berlangsung untuk ketiga kali setelah junta militer menetapkan darurat militer di kota Hlang Tahyar, Yangon, dan Swepyitha pada Minggu.

Sehari sebelum memutus akses internet, aparat keamanan melakukan penyisiran terhadap pendukung Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) mencari pendukung Aung San Suu Kyi hingga ke kota kecil tempat tinggal Lynn.

Myanmar terus berada dalam posisi terpojok

Meski Myanmar terus berada dalam posisi terpojok dalam komunitas internasional, junta militer hanya bergeming terhadap ancaman sanksi dan desakan untuk memulihkan keadaan tanpa kekerasan.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, mendesak militer Myanmar untuk mengizinkan kunjungan utusan khususnya demi membantu menenangkan situasi dan menyiapkan panggung dialog untuk mengantarkan negara itu kembali ke demokrasi.

“Pembunuhan demonstran, penangkapan sewenang-wenang, dan laporan penyiksaan terhadap tahanan melanggar hak asasi manusia serta menentang seruan Dewan Keamanan untuk menahan diri, berdialog dan kembali ke jalur demokrasi Myanmar,” kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan telah menjadikan Sekolah Indonesia di Yangon sebagai tempat penampungan sementara WNI terdampak krisis politik akibat kudeta di Myanmar.

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Judha Nugraha, mengatakan situasi di Myanmar masih dipandang belum mendesak sampai harus mengevakuasi WNI keluar dari Myanmar.

Meski begitu, Judha mengimbau kepada seluruh WNI yang tak memiliki keperluan mendesak di Myanmar untuk segera pulang ke Indonesia.

“KBRI Yangon telah menyiapkan Sekolah Indonesia Yangon sebagai lokasi shelter sementara bagi WNI. Kemlu dan KBRI juga akan membantu pengurusan charter flight jika memang opsi tersebut diminati para WNI,” kata Judha melalui pernyataan pada Selasa (16/3/2021).

Judha mengatakan baru saja melakukan pertemuan virtual bersama WNI di Myanmar. Ia mengatakan seluruh WNI dalam kondisi relatif aman.

“Ada beberapa aksi demo maupun penetapan martial law di lokasi tempat tinggal mereka, namun tidak ada serangan langsung yang ditujukan kepada para WNI,” ujar Judha.

Judha menuturkan saat ini masih tersedia penerbangan khusus bagi para warga Indonesia di Myanmar menggunakan maskapai Singapore Airlines (SQ) dan Myanmar Airlines. Sejauh ini, katanya, sudah ada 50 WNI pulang menggunakan relief flight tersebut.

“Kemlu dan KBRI terus memonitor perkembangan terakhir dan telah menyediakan akses hotline untuk membantu para WNI,” pungkas Judha. (cnn/mustivan)